Hari Kopi Internasional 2025, 1 Oktober: Denyut Nadi Surabaya dalam Segelas Kopi

Hari Kopi Internasional 2025, 1 Oktober: Denyut Nadi Surabaya dalam Segelas Kopi

Ilustrasi ngopi. Foto : ISTIMEWA --

BERKEMBANGNYA masyarakat jejaring sebagai bagian dari gejala budaya kontemporer di era digital telah mendorong lahirnya ruang publik untuk berdiskusi dan mengeluarkan pendapat di berbagai aspek kehidupan sehari-hari. Habermas menyebut proses demokratisasi itu membuka ruang-ruang baru bagi masyarakat atau munculnya pemaknaan ulang terhadap ruang publik yang sudah ada. Salah satunya adalah kehadiran kedai kopi dengan diawali adanya warung kopi yang sebenarnya sudah menjadi bagian dari praktik budaya, terutama di Eropa, sejak abad ke-18. 

Warung kopi, kafe, dan salon telah digunakan sebagai salah satu situs ruang publik borjuis dalam konteks Eropa. Dalam konteks Indonesia saat ini, penciptaan ruang publik di warung kopi ”modern” atau kafe berkembang pesat sejak dekade 2010-an, tak terkecuali di Kota Surabaya. 

Malam di Surabaya berdenyut dalam dua irama cahaya dan aroma. Dari balik jendela-jendela kaca di pusat kota, tercium wangi sangrai biji arabika yang manis, berpadu dengan cahaya hangat yang menyorot interior minimalis. 

BACA JUGA:Hari Kopi Internasional 2025: Tema, Asal-Usul, dan Perjalanan Kopi dari Ethiopia ke Indonesia

BACA JUGA:7 Jenis Kopi Ini Aman Bagi Penderita Asam Lambung, Tak Khawatir Perut Perih

Di sana, di dalam keheningan yang sopan, berlangsung parade hening para individu. Namun, jika kita menyusuri gang-gang yang lebih padat, hidung kita akan menangkap aroma kopi robusta yang pekat dan sedikit gosong, bercampur dengan asap keretek. 

Dari balik pintu warkop yang selalu terbuka, terdengar gelak tawa riuh dan dengung televisi yang menjadi musik latar kehidupan komunal.

Kopi tidak sebatas berfungsi sebagai penghilang kantuk, sahabat bergadang nonton bola, atau hidangan pada tahlilan, tetapi telah berubah menjadi sebagai kode simbolis yang digunakan sebagian kalangan peminumnya buat mengomunikasikan, mencitrakan, mengaktualisasikan keberadaan mereka pada kelompok sosial. Komodifikasi kopi sepertinya berjalan beriringan dengan komodifikasi gaya hidup. 

BACA JUGA:Waspadai! 7 Makanan ini Sebaiknya Tidak Dikonsumsi Bersamaan dengan Kopi

BACA JUGA:Bolehkah Minum Kopi Saat PMS? Ini Faktanya

Dua dunia itu, meski sama-sama dipusatkan pada kopi, pada hakikatnya adalah panggung bagi dua ritual sosial yang berbeda, sebuah cermin hidup dari jiwa kota ini yang berlapis. Dari kacamata antropologi, kita tidak hanya melihat orang minum kopi; kita menyaksikan manusia menjalankan ritual untuk menegaskan siapa diri mereka dan di mana posisi mereka dalam masyarakat. 

Fenomena pergeseran interpretasi atau penafsiran dalam hal budaya mengonsumsi kopi yang semula hanya sekadar untuk dinikmati sampai menjadi sebuah gaya hidup. Bagi para penikmat kopi, kedai kopi bukan hanya tempat yang dijadikan untuk sekadar menikmati secangkir kopi dengan kudapan, melainkan lebih dari itu. 

Kedai kopi juga menjadi pilihan individu-individu penggemar kopi sebagai tempat untuk bersosialisasi, menyelesaikan tugas dan pekerjaan, berbincang dan untuk memperluas jaringan sosial atau modal sosial.

BACA JUGA:5 Tradisi Minum Kopi di Dunia yang Wajib Kamu Tahu!

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: