Modal sosial Bourdieu menjadi bukti bahwasannya kepemilikan ekonomi tidak menjadi satu sumber untuk menguasai arena. Modal sosial yang tercipta pada fenomena itu tidak hanya dimiliki individu, tetapi juga kelompok.
***Budaya ngopi menjadi suatu hal yang melekat dalam diri individu serta dilakukan dengan intensitas yang tinggi. Budaya ngopi menjadi pendorong terciptanya kemampuan berinteraksi antar pelanggan di kedai kopi.
Kedai kopi menjadi sarana untuk membantu pelanggan agar mampu meningkatkan kualitas diri. Hal tersebut didorong oleh asumsi kemampuan manusia untuk berpikir dan menciptakan suatu interaksi. Interaksi yang dapat tercipta di kedai kopi yaitu kegiatan ngopi.
Interaksi yang tercipta menurut Mead berasal dari pikiran, diri, dan masyarakat, ketiganya berkontribusi secara penuh. Fenomena sosial di kedai kopi berawal dari level mikro hingga makro, kegiatan ngopi yang dilakukan hanya berdasarkan keinginan berada di level mikro.
Sedangkan kegiatan ngopi dengan tujuan lain seperti workshop yang melibatkan banyak individu dan terdapat kegiatan penunjang lain di dalamnya dapat dikategorikan dalam skala level makro. Budaya ngopi merupakan suatu interaksi yang bergerak dari level mikro (individu) ke level makro (struktur sosial).
Media TEMPO pada 2018 menyebutkan bahwa berkembangnya budaya nongkrong dan berdiskusi di warung kopi di kalangan aktivis mendorong lahir dan berkembangnya bisnis-bisnis warung kopi ataupun kafe yang mengasosiasikan diri dengan gerakan sosial.
Salah satu wacana yang berkembang adalah warung kopi ataupun kafe sebagai situs gerakan tidak hanya menjadi ruang konsolidasi, tetapi juga secara praktis bekontribusi menciptakan transformasi dan pemberdayaan sosial.
Selain itu, wacana third wave coffee yang berkembang di Indonesia sejak dekade 2010-an melahirkan tren aktivisme melalui produksi dan konsumsi kopi. Third wave coffee adalah budaya menikmati kopi yang menitikberatkan pada seni dan kesungguhan dalam proses pengelolaan dan penyajian kopi dan tidak lagi mengutamakan jumlah produksi.
Perbedaan ritual yang mencolok itu membawa kita pada pertanyaan tentang ”aset” tak terlihat apa yang sebenarnya dicari orang di kedua tempat tersebut. Jawabannya bukan sekadar kafein.
Di panggung sosial ini, ada dua jenis modal tak kasatmata yang dikejar: modal yang ditampilkan untuk membangun citra dan modal yang dirajut untuk membangun jaring pengaman sosial.
Menarik benang merah dari dua aroma yang berbeda itu –robusta yang pekat dan arabika yang manis– tersajilah sebuah potret sosial kota yang jujur dan berlapis. Di satu sisi, kita menyaksikan aspirasi global, parade hening para individu dalam altar-altar estetis.
Di sisi lain, kita melihat ketangguhan denyut komunal yang dirawat di ruang-ruang sederhana yang lebih egaliter. Keduanya adalah wajah Surabaya yang tak terpisahkan.
Dari tulisan sederhana kami tentang ”indah”-nya ngopi inilah, setidaknya mengindikasikan bahwa Surabaya sendiri merupakan sebuah kota yang memiliki masyarakat dengan jumlah konsumsi yang relatif tinggi.
Warga Indonesia itu sendiri adalah warga yang tergolong dalam masyarakat modern. Mereka menikmati kehidupan yang mewah serta tergolong rakus pada mengonsumsi komoditas menjadi alat penunjang lifestyle-nya.
Selanjutnya, perilaku konsumtif berasal masyarakat modern juga ditandai oleh pemanfaatan ketika senggang. Di mana ketika senggang menjadi kebutuhan tersendiri, tak hanya buat istirahat sejenak dari rutinitas kerja yang dilakukan melainkan pula buat mengekspresikan simbol serta gaya hidup.
Dalam masyarakat konsumsi, masyarakat akan memanfaatkan waktu luang menggunakan sikap konsumtif, hal itu dari Veblen dianggap sebagai kelas pemboros atau the leisure class.