Ajakan nongkrong sangat sering diawali dengan kata ”ngopi yuk” yang mana kata tersebut kini bukan menjadi hal yang asing di telinga kita. Dahulu istilah ”ngopi” merupakan suatu kegiatan rutin yang hampir dijadikan agenda wajib untuk beberapa kalangan, bahkan identik hanya dilakukan oleh orang tua atau bapak-bapak.
Namun, selama beberapa tahun terakhir aktivitas itu justru banyak dilakukan anak muda. Esensi budaya ngopi lebih banyak ke arah positif karena mampu membangun efektivitas yang baik. Efektivitas tersebut berupa berkumpul, berbicara, membaca, mengerjakan tugas, hingga menghibur satu sama lain.
Pertama, mari kita masuki warkop sebagai panggung solidaritas komunal. Warkop bukanlah sekadar tempat, ia adalah sebuah ekosistem. Duduk di bangku kayu panjang yang sama, tidak ada batasan personal yang kaku.
BACA JUGA:Indonesia Siap Kembalikan Kejayaan Kopi Nusantara di Pasar Jepang Lewat Expo Osaka 2025
BACA JUGA:5 Manfaat Kopi Hitam Tanpa Gula untuk Kesehatan Tubuh
Koran pagi dibaca bergantian, pemantik api berpindah tangan tanpa diminta, dan obrolan bisa melompat dari satu meja ke meja lain membahas kekalahan Persebaya. Di sini, segelas kopi giras (giling-peras) yang disajikan dalam gelas bening sederhana menjadi tiket masuk ke sebuah ruang sosial yang cair.
Ritual utamanya adalah cangkrukan –sebuah praktik budaya Jawa Timur-an yang mengutamakan obrolan santai tanpa tujuan sebagai cara merawat ikatan sosial. Warkop adalah benteng terakhir dari komunalitas urban yang otentik.
Kemudian, kita beralih ke kafe sebagai altar bagi ritual individualitas. Memasuki kafe modern seperti memasuki sebuah ruang pertunjukan yang sunyi. Barista, dengan gerakannya yang presisi, tampak seperti seorang alkemis atau pendeta yang sedang meracik ramuan suci.
BACA JUGA:4 Cara Menikmati Kopi Decaf dengan Aman
BACA JUGA:10 Jenis Kopi Espresso Based, Pecinta Kopi Harus Tahu
Menu yang terpampang adalah daftar mantra dengan nama-nama eksotis: v60, japanese drip, cold brew. Ritual di sini bersifat personal. Dimulai dari memilih biji kopi (sebuah pernyataan selera), lalu mencari sudut personal yang paling strategis, hingga puncaknya adalah membuka laptop.
Gawai tersebut berfungsi sebagai perisai dan penanda status; ia menciptakan ”gelembung privasi” di tengah keramaian, sebuah altar personal tempat pekerjaan, tugas, dan citra diri digital dipuja. Kopi dalam cangkir keramik yang instagramable bukan lagi sekadar minuman, melainkan properti dalam sebuah pertunjukan identitas diri.
Itu juga menunjukkan adanya konsepsi nongkrong di kafe yang hanya berupa keinginan sesaat, sebagai bentuk kebutuhan dan kebiasaan, dan adanya pengaruh dari kondisi keuangan.
Dari sekilas terlihat bagaimana Bourdieu menyatakan bahwasannya modal ekonomi bukan satu-satunya pemegang kendali atas arena.
Jika individu tidak mempunyai modal ekonomi tetapi memiliki modal lain, ada kemungkinan untuk individu tersebut menguasai arena, yakni modal sosial sebagai sumber daya yang dimiliki individu atau kelompok dalam jaringan sosial mereka.
Struktur sosial menekankan bagaimana modal sosial berperan dalam membentuk struktur sosial, kemudian dapat memengaruhi posisi dan keberhasilan individu atau kelompok dalam masyarakat.