HARIAN DISWAY - Mutasi Genetik, Kartograf, Tenung Tujulayar, Kapalaran, dan Puitika Kematian. Judul-judul itu menjadi bukti perjuangan seorang Nanda Alifya Rahmah dalam menjadi seorang kritikus sastra.
Buku kritik sastranya berjudul Puitika Kematian beroleh anugerah Sutasoma 2025 dari Balai Bahasa pada 15 Oktober 2025. Penghargaan itu membuatnya lebih fokus dalam dunia kritik sastra.
"Selama ini aku selalu kurang nyaman kalau karya puisiku dibaca orang. Beda kalau nulis kritik sastra. Itulah duniaku," ungkap Nanda.
Perjalanannya di dunia kesusastraan Indonesia telah dimulai sejak dia duduk di bangku sekolah dasar. Sejak kelas 1, buku favoritnya adalah cerita naratif yang ada di buku paket Bahasa Indonesia dan PPKn.
BACA JUGA:Teater Gapus Surabaya Hadirkan Drama Absurd Endgame karya Samuel Beckett, Soroti Eksistensialisme
Selain itu, orang tuanya kerap memfasilitasi buku bacaan sastra anak. Seperti Kumpulan Dongeng Nusantara dan karya-karya penyair Christian Andersen.
Nanda pun menjalani alur akademiknya hingga SMA. Awalnya, dia bercita-cita menjadi seorang dokter. Tapi kecintaannya terhadap kesusastraan tak dapat dipungkiri. Ia selalu mengambil kesempatan jika itu berkaitan dengan bahasa dan sastra.
Salah satu potret kegiatan Nanda Alifya Rahmahmembaca puisi pada acara Jatim Art Forum (16/12/16).-Instagram @nandaarah-
Kawan-kawan terdekatnyalah yang menyadari potensi Nanda. Salah satunya adalah guru Bahasa Indonesianya saat masa SMA. Ia mendukungnya dalam dunia sastra.
Di akhir masa SMA, Nanda sebagai siswi jurusan MIPA bimbang akan melanjutkan studinya. Lagi-lagi lingkungannya berperan besar dalam keputusannya untuk mendaftarkan diri menjadi mahasiswi jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia (Sasindo), Universitas Airlangga.
BACA JUGA:Teater Gapus Pentaskan Endgame, Bentuk Protes Sosial melalui Karya Teater
BACA JUGA:Kritik Fenomena Konsumerisme, Teater Gapus Garap Manufaktur Anatomi Kera
Menjalani kehidupan sebagai mahasiswi sastra membuatnya sempat ragu. Dia mengetahui bahwa dalam sejarah, Sasindo UNAIR merupakan tempat lahirnya para sastrawan terkemuka. Seperti Indra Tjahyadi dan Mashuri.
"Rasanya jauh sekali untuk menjadi seperti Pak Indra saat itu. Saya enggak berani bersinggungan langsung dengan beliau saat berada di kampus," ujar Nanda.