Menurut pakar komunikasi digital, Dr. Diah Anggraini, perilaku ini menunjukkan kegagalan institusi pendidikan dalam menanamkan literasi empati.
“Humor yang berakar pada penderitaan orang lain bukan sekadar candaan, itu bentuk kekerasan psikologis,” ujarnya.
Tragedi Timothy Anugerah Saputra kini bukan hanya soal kehilangan seorang mahasiswa berprestasi, tetapi juga cermin rusaknya empati di era media sosial.
Publik menuntut agar kasus ini menjadi titik balik bagi dunia kampus: menegakkan disiplin, menumbuhkan empati, dan memastikan ruang akademik benar-benar bebas dari perundungan — baik di dunia nyata maupun dunia digital. (*)
Disclaimer:
Berita ini memuat kisah tentang tindakan bunuh diri. Kami menayangkannya dengan tujuan edukatif dan untuk meningkatkan kesadaran tentang pentingnya kesehatan mental, bukan untuk menormalisasi tindakan tersebut.
Jika Anda sedang mengalami tekanan, stres berat, atau pikiran untuk mengakhiri hidup, ketahuilah bahwa bantuan tersedia dan Anda tidak sendirian.
Hubungi layanan Sejiwa 119 ext 8, atau konsultasikan dengan tenaga kesehatan dan psikolog profesional.