Jika pewawancara kemudian menghadirkan lebih banyak bukti, seperti mencocokkan sidik jari dari TKP, atau rekaman CCTV, pembohong akan kelabakan mempertahankan penipuan. Ia sulit menciptakan kebohongan baru.
Prof Aldert Vrij, guru besar psikologi sosial terapan di University of Portsmouth, Inggris, dalam karyanya yang berjudul Eliciting information and detecting lies in intelligence interviewing: An overview of recent research (2014), mengungkap strategi mengakali tersangka pembohong.
Vrij: ”Pembohong melakukan lebih dari sekadar menceritakan kisah mereka. Mereka juga memberikan kesan yang meyakinkan. Jika pewawancara membuat wawancara lebih sulit, hal itu akan membuat tugas berbohong yang sudah sulit, menjadi lebih sulit lagi.”
Cara mempersulit pembohong dengan meningkatkan beban kognitif mereka. Misalnya, meminta mereka menceritakan kisah mereka dalam urutan terbalik.
Teorinya, orang jujur dapat mengandalkan ingatan mereka untuk menceritakan kisah mereka secara terbalik. Bahkan, bisa menambahkan lebih banyak detail. Tapi, pembohong cenderung kesulitan.
Riset membuktikan, pembohong suka memberikan lebih sedikit detail tentang waktu, lokasi, dan hal-hal yang mereka dengar. Mereka juga berbicara lebih lambat, dengan lebih banyak keraguan, dan kesalahan tata bahasa.
Mendorong narasumber berbicara lebih banyak selama wawancara akan membantu mengidentifikasi pembohong.
Vrij: ”Orang jujur tidak langsung mengatakan semua yang perlu mereka katakana. Tapi, saat pewawancara mendorong mereka untuk berbicara lebih banyak, si jujur justru memberikan informasi tambahan.”
Pembohong, sebaliknya. Mereka sudah menyiapkan cerita dengan sedikit informasi tambahan. Mereka tidak punya imajinasi untuk mengarang lebih banyak atau mereka mungkin enggan mengatakan lebih banyak karena takut ketahuan.
Vrij: ”Mengajukan pertanyaan tak terduga sangat berguna. Karena pembohong sering kali mempersiapkan cerita mereka. Pertanyaan kejutan membuat mereka bingung untuk menjawab atau justru bertentangan dengan cerita mereka sebelumnya.
Di kasus pembunuhan Dina, rupanya tersangka tidak menduga bahwa ucapannya ke polisi bakal dikonfrontasi. Mungkin saja ia menduga bakal dikonfrontasi, tetapi ia tak menduga bahwa ada saksi yang mematahkan keterangannya ke polisi.
Contohnya, soal topik dukun. Mungkin tersangka mengira, kebenarannya tidak ada yang tahu, kecuali Tuhan. Juga, korban yang sudah meninggal. Ternyata ada ibunya korban.
Juga, tersangka tidak menduga bahwa rekan-rekan kerja tersangka dan korban secara tidak disadari sehari-hari mengetahui gelagat ketertarikan seksual tersangka kepada korban. Meski, itu bersifat pribadi. Mungkin para saksi mengatakan ke polisi tentang momen-momen tertentu yang mengungkap hal itu.
Akhirnya polisi menjerat Heryanto dengan Pasal 340 KUHP, pembunuhan berencana. Ancaman maksimal hukuman mati. Setidaknya, penjara seumur hidup. Itulah hukuman terberat dari KUHP.
Pasti, kini Heryanto menyesal. Sangat disayangkan.
Sebagai imbangan, wartawan mewawancarai ayah Heryanto, Karsa, 50. Ia mengatakan, anaknya itu sejak kecil jarang bikin masalah.