Militer di Ranah Sipil: Stabilitas atau Kemunduran Demokrasi?

Selasa 28-10-2025,17:18 WIB
Oleh: Mohammad Ryan Dwi Ramadhan*

Krisis pangan global, ancaman geopolitik, potensi kerusuhan sosial, hingga kebutuhan percepatan pembangunan dianggap tidak bisa diselesaikan hanya oleh birokrasi sipil. 

Dalam logika mereka, militer dipandang lebih disiplin, lebih terorganisasi, dan lebih mampu bergerak cepat daripada lembaga sipil yang kerap lambat karena birokrasi yang berbelit-belit.

Namun, menurut saya, argumen semacam itu terlalu simplistis. Masalah lambatnya birokrasi tidak berarti jawabannya adalah menyerahkan urusan sipil kepada militer. Justru yang perlu dilakukan adalah mereformasi birokrasi itu sendiri. 

BACA JUGA:Militer Indonesia di Pusaran Bisnis

BACA JUGA:Militer dan Sipil

Apabila akar masalahnya adalah korupsi, inefisiensi, atau minimnya kapasitas sumber daya manusia, solusinya adalah memperbaiki sistem, bukan mengalihkan tugas ke institusi lain. Menggunakan militer sebagai solusi cepat hanya akan menutupi masalah, bukan menyelesaikannya.

Dari perspektif politik, ada beberapa risiko serius yang saya lihat. 

Pertama, independensi lembaga sipil bisa tergerus karena wewenangnya diambil alih atau dibayangi oleh kekuatan militer. 

Kedua, keterlibatan militer dalam program sipil membuka celah politisasi, di mana institusi pertahanan berpotensi dimanfaatkan untuk kepentingan kelompok tertentu. 

Ketiga, akuntabilitas publik makin terancam. Militer dikenal memiliki kultur yang tertutup. Jika mereka diberi kewenangan di ranah sipil, transparansi kebijakan bisa makin sulit diwujudkan.

Selain itu, dampak sosialnya tidak bisa diabaikan. Kehadiran militer dalam kehidupan sehari-hari masyarakat berpotensi menimbulkan rasa takut dan mengurangi ruang kebebasan sipil. Misalnya, jika militer dilibatkan dalam penanganan aksi demonstrasi, bagaimana jaminan bahwa aspirasi rakyat tidak akan ditekan dengan kekuatan represif? 

Demokrasi hanya bisa tumbuh sehat bila masyarakat bebas menyuarakan pendapatnya tanpa bayang-bayang intimidasi.

Saya percaya, solusi untuk masalah sipil seharusnya datang dari sipil pula. Ketahanan pangan, misalnya, bisa diperkuat dengan membangun tata kelola pertanian yang lebih baik, mendukung inovasi petani lokal, serta memastikan distribusi yang adil dan transparan. 

Begitu juga dalam bidang pembangunan, yang jauh lebih efektif jika dilakukan dengan menekan praktik korupsi, memperbaiki koordinasi antarlembaga, dan melibatkan masyarakat secara aktif. Semua itu bisa dicapai tanpa harus melibatkan militer.

Pada titik tersebut, polemik perluasan peran militer di ranah sipil seharusnya menjadi momentum refleksi bagi kita semua. 

Pertanyaannya sederhana tetapi fundamental: apakah kita ingin melanjutkan perjalanan menuju demokrasi yang matang atau justru rela mundur ke masa ketika kekuasaan begitu tersentralisasi di tangan militer? 

Kategori :