Sinopsis The Running Man 2025, Soroti Distopia Media dan Kekerasan

Senin 10-11-2025,12:10 WIB
Reporter : Nila Putri Andayani*
Editor : Salman Muhiddin

Meski berfokus pada aksi, Running Man 2025 juga menyelipkan kritik sosial tentang bagaimana kekuasaan media dapat membentuk imajinasi publik.

Penonton dalam film digambarkan begitu terobsesi menyaksikan kekerasan, seolah-olah setiap momen brutal adalah hiburan yang pantas dikonsumsi.


Sinopsis The Running Man 2025 Aksi Brutal dan Pertaruhan Nyawa dalam Reality Show Paling Mematikan-Youtube official Paramount Pictures-

Sementara itu, kebenaran manipulatif di balik produksi acara mulai dari narasi yang dipelintir hingga rekayasa opini publik menggambarkan bagaimana media bisa menutup-nutupi realitas demi menjaga rating.

Perjalanan Ben pun menjadi refleksi dari konflik moral, apakah ia harus fokus pada keselamatannya, atau memberanikan diri membuka kebusukan sistem yang mempermainkan hidup manusia? Setiap langkahnya bukan lagi sekadar usaha bertahan hidup, tetapi juga simbol perlawanan terhadap ketidakadilan.

Ketika publik mulai menyadari bahwa mereka telah lama diperalat oleh acara yang mereka idolakan, ketegangan di dunia film semakin memuncak, menciptakan momen penuh emosi dan konflik batin.

Dari sisi visual, film ini menampilkan kombinasi antara lanskap masa depan yang gelap dan brutal, serta teknologi pengawasan yang inovatif, yang semuanya dirangkai dalam adegan aksi yang dikoreografi rapi.

BACA JUGA:Sinopsis Cristine: Tidak Seperti yang Kamu Lihat, Berbagi Tubuh dengan Anak Gaib

BACA JUGA:Sinopsis Film Horor Good Boy, Teror Supernatural dari Sudut Pandang Anjing Peliharaan

Estetika distopia terlihat jelas melalui atmosfer kota rusak, pencahayaan yang suram, dan ruang publik yang dikuasai layar besar penuh propaganda.

Penampilan Glen Powell sebagai Ben Richards memperkuat emosi film, menggambarkan transformasi seorang ayah putus asa menjadi simbol harapan di tengah kehancuran moral.

The Running Man 2025 bukan hanya film aksi, tetapi juga kritik terhadap masyarakat yang mulai kehilangan empatinya. Film ini mempertanyakan bagaimana hiburan dapat menggeser batas moral, dan apa yang terjadi ketika kehidupan manusia dijadikan konten.

Dengan narasi yang kuat, aksi intens, serta dunia distopia yang terasa nyata, film ini menghadirkan pengalaman menegangkan yang memaksa penonton berpikir sekaligus merasakan adrenalin. (*)

*) Mahasiswa Magang MBKM Prodi Ilmu Komunikasi, Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya. 

Kategori :