Generasi Sandwich, Le(t) Go Wo

Minggu 16-11-2025,06:33 WIB
Oleh: Wiriyadhika Gunaputra*

Asalkan mereka bahagia. Asalkan mereka sehat. Asalkan mereka tidak menderita. Sekarang atau nanti.

Menjadi provider untuk keluarga. Menjadi pintu satu-satunya keluarga. Menjadi tombol darurat keluarga.

Itulah yang sering saya alami juga sepanjang hidup ini. 

Pernah suatu waktu, saat awal-awal bekerja. Waktu itu masih tinggal dengan kakek dan nenek, rumahnya satu setengah lantai di sebuah perkampungan di Surabaya Pusat. Setengah lantai yang terletak di belakang rumah sekitar 2 x 3 meter itu untuk tempat jemuran baju, alat-alat perkakas kakek.

Tangga untuk naik ke lantai atas itu memang sudah agak lapuk. Waktunya memang sudah diganti dengan yang baru. Cuma, selama itu karena belum punya uang, jadi belum bisa diganti.

Setelah baru bekerja beberapa bulan, sudah ada sedikit tabungan sekitar Rp500 ribu. Setelah kakek tanya sana sini untuk biaya ganti tangganya, akhirnya kami putuskan untuk menggantinya. 

Biayanya Rp300 ribu. Saya serahkan kepada kakek dan nenek untuk membayar tangga itu. Akhirnya tangga itu baru. Lebih kuat. Tidak perlu khawatir kakek atau nenek jatuh karena tangganya patah. Akan sangat menyesal jika itu terjadi.

Ikhlas. Tabungan hanya tersisa Rp200 ribu. 

Ada juga cerita tentang harus mengobatkan ibu saya yang memang punya riwayat sesak napas. Jadi, hampir sebulan sekali, bahkan kadang-kadang dua kali dalam sebulan, itu hampir pasti ke IGD karena sesak napas parah yang memang sudah tidak cukup ditangani dengan obat minum atau oksigen portabel kaleng.

Sekali setor ke RS tiap kali ke IGD minimal Rp200 ribu. Tinggal dikali berapa jumlah ke IGD. Belum lagi kalau memang sudah lumayan parah, mau tidak mau rawat inap. Untuk bayar obat dan biaya rawat inap, saya dan kakak bingung cari utang ke siapa. Kami berdua pun patungan untuk mencicil utangnya.  

Ini saya cerita tidak bermaksud seperti mengingat utang atau jasa kami, tetapi justru itu menjadi kebanggaan bagi saya bisa berbuat satu hal kecil, tetapi bisa juga itu hal yang penting di keluarga kita. 

Betapa peran kita sangat vital di keluarga.

Tapi, di sisi lain, ketika kita melihat kanan kiri teman sebaya kita, muncul rasa nelongso. Di saat mungkin teman-teman kita yang sepantaran bisa menikmati gajinya secara utuh, kita tidak bisa. Bahkan, 90 persen untuk kebutuhan keluarga.

Rasa bangga tadi harus ditaruh di depan si nelongso agar bisa terus berjalan sedikit mengeluh. Kalau terbalik, mengeluh dan menggerutu akan lebih banyak daripada kerjanya. Dan, itu malah menjadikan kita dan keluarga tidak keluar dari kubangan ”lumpur”. Naik tingkat dari basemen kehidupan ini. Selamanya akan gelap, pengap, sempit.

Sebagai generasi sandwich, ikhlas itu latihan langsung. Tidak ada tutorial, tidak ada materi, tidak ada mentor. Kecemplung. Entah sudah berapa kali napas panjang kita keluarkan. Entah berapa kali dada ini dielus-elus. Entah berapa kali kita menahan amarah. Entah berapa kali kita menangis dalam sepi. 

Latihan ikhlas prematur, secara mental dan finansial pasti tidak siap. Di saat ego yang justru sedang besar-besarnya sebagai anak muda, malah harus dipendam habis-habisan. Gejolak mood dan emosi yang naik turun. Bagaimana mungkin yang seharusnya secara natural itu tumbuh, justru harus ditarik ke bawah hingga akarnya pun tidak sempat mencengkeram tanah. 

Kategori :