DI dua tulisan sebelumnya, saya cerita tentang skill yang wajib dipunyai sebagai generasi sandwich, yaitu skill ngempet dan cermat. Namun, ada satu skill lagi yang justru jadi puncak pencapaian. Paling tinggi.
Sebenarnya bukan cuma untuk si generasi sandwich, tapi bisa juga buat generasi roti sisir –istilah dari saya sendiri– yang di hidupnya hanya bingung antara mau pakai mentega atau tidak. Sudah itu saja. Tidak ada masalah lainnya.
Ilmu yang dimaksud adalah kalau orang Jawa menyebutnya legowo. Kalau orang Jawa yang kuliah di Oxford, bilangnya let go. Kalau orang Jawa yang suka gatuk-gatukkan kata, bilangnya le(t)go-wo.
BACA JUGA:Generasi Sandwich, Ahli Ngempet yang Terjepit
BACA JUGA:Generasi Sandwich, Kiat Bertahan di Tengah Ketidakstabilan Ekonomi Global
Saya yakin semua orang sepakat. Ikhlas itu tidak mudah. Justru paling sulit dilakukan. Saya setuju juga dengan Abah Dahlan Iskan bahwa ikhlas itu bukan belajar, melainkan latihan.
Kalau belajar itu sekadar tahu ilmunya. Belum tentu mempraktikkan. Mempraktikkan, tapi belum tentu berhasil.
Jadi, legowo itu harus latihan. Makin sering makin bisa. Berarti, makin banyak merasakan pahitnya harus melepaskan sesuatu.
Sebagai generasi sandwich, yang penghasilannya dari gaji tidak bisa langsung gede, kita mesti menabung dari yang sedikit itu. Hasil dari ngempet dan cermat, ada sebagian kecil yang bisa kita tabung.
BACA JUGA:10 Strategi Bertahan bagi Generasi Sandwich Meski Terjepit Kewajiban Orang Tua dan Anak
BACA JUGA:Thomas Lembong: Generasi Sandwich Bisa Makmur di Era AMIN
Jika dipersentase, bisa hanya 5 persen sampai 10 persen. Ngumpulin dikit demi sedikit. Bukan untuk apa-apa, melainkan itulah dana darurat kami. Darurat yang kapan pun bisa muncul.
Yang disebut darurat itu bukan untuk kami saja, melainkan bisa jadi orang tua, bisa dari kakak, dari adik, istri/suami, anak.
Ketika kita menjawab dalam diri bahwa ”ya, aku akan tanggung jawab untuk keluargaku”. Sejak saat itu, kita harus ikhlas kalau diri kita bukan yang paling penting. Urutan paling bawah.
Semua keinginan. Semua mimpi. Semua angan. Bukan lagi tentang kita, melainkan mereka.