Thomas A. Birkland (2011) menekankan bahwa kebijakan mesti berlandaskan bukti, transparan, akuntabel, dan adaptif terhadap perubahan kondisi sosial, ekonomi, dan politik.
Namun, dalam praktiknya, berbagai corak populisme kerap menurunkan standar tersebut.
Salah satunya adalah populisme materi, yakni gaya politik yang berfokus pada pemberian manfaat langsung seperti bantuan tunai, proyek infrastruktur besar, atau program sosial instan.
Program-program tersebut tampak menarik di permukaan, tetapi sering kehilangan arah karena perencanaan dan evaluasi terburu-buru. Akibatnya, kebijakan menjadi lebih berorientasi pada dampak jangka pendek ketimbang keberlanjutan manfaat publik.
Selain itu, muncul pula populisme kebudayaan, yakni memanfaatkan nilai-nilai tradisional, identitas, dan simbol komunal untuk menguatkan legitimasi politik.
Di sana pejabat berperan sebagai ”pelindung rakyat sejati” melawan ”elite asing” atau kelompok yang dianggap mengancam moralitas lokal.
Meski narasi tersebut terasa membumi, kebijakan yang lahir dari dorongan simbolis semacam itu sering mengabaikan persoalan struktural seperti kemiskinan, ketimpangan, atau mutu layanan publik.
Energi publik pun tersedot pada perdebatan identitas ketimbang evaluasi substansi kebijakan.
Dalam kedua bentuk itu, populisme menghadirkan paradoks. Ia memperluas keterlibatan rakyat, tetapi sekaligus berisiko menurunkan kualitas teknokratis kebijakan publik.
KETIKA PANGGUNG DIGITAL MENGABURKAN NASKAH KEBIJAKAN
Di era media sosial, populisme juga memiliki wajah baru, yaitu populisme digital. Fenomena itu menempatkan citra dan visualitas di atas substansi.
Pemerintahan lokal dan nasional kini berlomba tampil ”dekat dengan rakyat” melalui tayangan langsung, unggahan harian, dan narasi visual tentang pemimpin yang ”turun tangan langsung” ke lapangan.
Popularitas dibangun dari momen-momen simbolis yang cepat viral, seolah kebijakan bekerja dalam waktu nyata.
Namun, di balik layar panggung digital itu, sering terselip paradoks yang menggelitik: kerja yang ditampilkan belum tentu sepadan dengan hasil yang dirasakan masyarakat.
Kebocoran komunikasi atau celoteh tim media yang menunjukkan bahwa sebagian aktivitas hanyalah ”setting panggung” memperlihatkan batas yang rapuh antara transparansi dan teater politik.
Populisme digital, dalam arti ini, menjadi rayuan paling halus memperlihatkan responsivitas semu sambil menyembunyikan proses teknokratis yang justru menentukan kualitas kebijakan.