Ekonomi Serabutan, dari Kepepet Menjadi Kreatif

Rabu 19-11-2025,16:13 WIB
Oleh: Bagus Suminar*

PAGI ia antar makanan, siang jadi fotografer, malamnya bantu teman bikin desain logo. Hidupnya terlihat tak pasti, tapi penuh gerak, penuh variasi. Di sela-sela waktu, ia bukan sekadar bekerja –ia beradaptasi. Dunia sekarang menuntut bukan hanya orang rajin, melainkan juga orang yang bisa berubah secepat keadaan.

Dunia kerja memang sudah tak punya bentuk. Kantor bisa di kafe atau warkop, rapat online bisa dari kasur, dan gaji datang dari notifikasi. Banyak orang hidup dari proyek ke proyek, dari peluang ke peluang. 

Dulu itu dianggap hidup yang tidak stabil, tapi kini justru jadi wajah baru dari ketahanan. Di tengah era disrupsi dan ketidakpastian, lahirlah generasi yang lentur: kreatif, cepat belajar, dan tidak mudah menyerah.

Cal Newport, dalam bukunya, Deep Work (2016), menulis bahwa di dunia yang penuh distraksi, kejernihan dan fokus adalah bentuk baru dari kekuatan. Kalimat itu bukan sekadar nasihat kerja, melainkan panduan bertahan hidup bagi siapa pun yang tidak ingin tenggelam dalam arus kebisingan digital. 

Dalam ekonomi serabutan (sering disebut gig economy), kemampuan berpikir jernih menjadi senjata utama. Bukan siapa yang paling sibuk, melainkan siapa yang paling tenang dan fokus membaca peluang.

Mereka yang hidup di dunia serabutan belajar jadi pengamat tajam. Jeli membaca arah, jeli melihat peluang, memanfaatkan momen kecil, dan bergerak cepat ketika kesempatan datang. 

Banyak juga di antara mereka yang aktif, tidak menunggu peluang, tapi justru menciptakannya. Mereka tidak berteori soal masa depan, mereka menulis masa depan itu lewat tindakan kecil setiap hari.

Misalnya, seseorang yang dulu hanya mengantar makanan kini belajar membuat konten kuliner dan dikenal di media sosial. Seorang desainer lepas yang semula bekerja sendirian kini membuka ruang kolaborasi kecil di rumah, membantu teman-teman lain mendapat proyek. 

Ada juga pengemudi online yang saat waktu sepi berjualan kopi di pinggir jalan. Mereka semua punya satu kesamaan: tak menunggu keadaan membaik, tetapi menggerakkan keadaan dengan cara masing-masing.

Kadang kita menduga, hidup serabutan berarti tanpa arah. Padahal, di dalamnya justru ada logika baru: manusia menjadi manajer bagi diri sendiri, itu berarti otonomi. Ia mengatur jam, menata strategi, dan memutuskan nasibnya tanpa atasan. 

Itu bukan kelemahan, melainkan bentuk baru dari kemandirian. Dunia mungkin tidak menjanjikan stabilitas, tetapi selalu memberikan ruang bagi yang kreatif dan berani mencoba.

Saras Sarasvathy, lewat Effectuation Theory (2001), menjelaskan bahwa wirausaha sejati tidak menunggu kondisi ideal, mereka bukan perfeksionis. Mereka mulai dari apa yang ada di tangan –bird in hand principle

Prinsip sederhana tapi kuat: mulai dari yang ada, yang bisa dilakukan, bukan dari yang sempurna. Di dunia kerja yang berubah cepat, cara berpikir seperti itu justru paling relevan. Kepepet adalah ibu dari inovasi. Mereka yang tak punya apa-apa akhirnya bisa menemukan cara.

Kita bisa lihat banyak contoh di mana-mana. Mulai pedagang daring, desainer lepas, sampai pengemudi online. Mereka semua melakukan hal yang sama: berimprovisasi dan berani mencoba. Kadang gagal, sering goyah, tapi tetap jalan. 

Mereka tahu bahwa yang penting bukan rencana besar, mlainkan langkah kecil yang berani diambil hari ini. Itulah effectuation dalam bentuk paling nyata: kreativitas dan inovasi lahir dari keterbatasan.

Kategori :