Ekonomi Serabutan, dari Kepepet Menjadi Kreatif

Rabu 19-11-2025,16:13 WIB
Oleh: Bagus Suminar*

Ayala dan Manzano (2014) dalam Entrepreneurial Resilience Theory menyebutkan, kekuatan wirausaha bukan cuma kemampuan mencipta, melainkan ketangguhan untuk bertahan di tengah tekanan. Dunia gig economy adalah latihan ”otot” hidup sehari-hari: hari ini mungkin sepi, besok bisa ramai, terus berputar silih berganti. 

Mereka yang kuat bukan karena tak jatuh, melainkan karena tahu bagaimana bangkit dengan kepala tegak. Di tengah badai digital, manusia yang lentur, tangguh, dan terus mencoba, justru tidak patah.

Dan, di atas semua itu, ada sesuatu yang lebih penting: keyakinan bahwa kemampuan bisa tumbuh. Sikap optimistis itu penting. Carol Dweck (2006) menyebutnya growth mindset. Orang dengan pola pikir itu, di benaknya tidak ada kamus ”tidak bisa”. 

Mereka mengubahnya menjadi ”belum berhasil”. Dalam ekonomi serabutan, sikap itu adalah kekuatan, bensin utama. Dunia kerja berubah, tetapi manusia juga bisa tumbuh dan beradaptasi.

Banyak pekerja serabutan yang belajar bukan dari ruang kuliah, melainkan dari algoritma dan pengalaman. Mereka terus belajar. Hari ini mereka belajar desain dari YouTube, besok tentang pemasaran digital, lusa tentang AI. 

Mereka tidak menunggu dunia menyesuaikan diri. Merekalah yang menyesuaikan diri dengan dunia. Di situlah letak daya hidup baru manusia era gig economy.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, dalam sambutannya di acara KAGAMA Leaders Forum di gedung RRI, Jakarta Pusat, pada Rabu, 24 September 2025, menyampaikan bahwa pemerintah kini menyiapkan berbagai platform dan fasilitas untuk mendukung pekerja di sektor gig economy

Langkah itu, menurutnya, penting agar para pekerja serabutan memiliki ruang belajar, ruang berkarya, dan akses terhadap peluang ekonomi yang lebih luas.

Artinya, pola kerja serabutan bukan fenomena pinggiran lagi. Ia sudah menjadi bagian penting dari denyut ekonomi nasional. Tantangannya kini bukan menolak perubahan, melainkan memastikan setiap pekerja punya daya tahan, kreativitas dan kesempatan untuk berkembang.

Namun, di balik semangat itu semua, ada satu hal yang perlu diingat. Hidup yang terlalu fleksibel juga bisa membuat manusia kehilangan ritme. Self-determination theory dari Deci dan Ryan (1985) menyebutkan bahwa manusia membutuhkan tiga hal untuk merasa utuh: otonomi, kemampuan, dan keterhubungan. 

Dua yang pertama kini mudah kita dapat. Kita bebas, kita bisa. Tapi, yang terakhir, keterhubungan, sering terlupa. Padahal, rasa terhubung itulah yang penting. Keterhubungan menumbuhkan makna. Tanpa makna, kebebasan justru kehilangan arah.

Kita bisa melihatnya pada banyak pekerja serabutan yang bekerja sendirian dari rumah atau di jalan. Mereka mungkin produktif, tetapi jarang bertemu orang secara mendalam. Kadang mereka makan sendiri, bekerja sendiri, pulang sendiri, dan menutup hari tanpa percakapan yang berarti. 

Ada desainer yang semalaman lembur untuk klien luar negeri, tetapi tidak punya teman untuk curhat. Ada pengemudi online yang berkeliling kota seharian, tapi tidak punya ruang untuk bercerita tentang hidupnya. Di luar terlihat bebas, mandiri, tetapi di dalam ada rasa hampa yang pelan-pelan menggerus semangat hidup.

Karena itu, di tengah hiruk-pikuk era ekonomi serabutan, kita tetap perlu tahu kapan berhenti dan beristirahat. Tidak untuk menyerah, tetapi untuk bernapas. Rasulullah SAW pernah bersabda, ”sesungguhnya tubuhmu memiliki hak atasmu, matamu memiliki hak atasmu, dan keluargamu memiliki hak atasmu.” (H.R. Bukhari dan Muslim). 

Hadis itu terasa makin relevan di zaman sekarang. Istirahat bukan kemewahan, melainkan bagian dari tanggung jawab.

Mungkin itulah makna sejati dari ekonomi serabutan (gig economy): hidup ini tidak selalu pasti, tapi penuh daya cipta. Kita belajar berjalan di tanah yang terus bergeser dan justru di sanalah kaki kita menjadi kuat. 

Kategori :