DUNIA bergerak cepat, tetapi arah diplomasi Indonesia tampak mengalami perlambatan dalam menentukan pijakan. Di tengah perang Gaza dan Ukraina, rivalitas teknologi Amerika Serikat-Tiongkok serta menguatnya koalisi baru BRICS+, Indonesia memasuki tahun pertama pemerintahan Prabowo-Gibran dengan dinamika yang tidak lagi sederhana.
Politik luar negeri kita terlihat aktif di banyak panggung, tetapi belum menampakkan satu garis pandu yang jelas. Pertanyaannya kini bukan apakah Indonesia masih memegang prinsip bebas-aktif, melainkan apakah prinsip itu masih memiliki kompas arah yang jelas.
Prinsip penting dari kehadiran harus dipegang, bahwasannya kualitas jauh lebih penting dari kuantitas dan makna eksistensi Indonesia harus memiliki esensi yang dapat diukur.
BACA JUGA:Prabowo Tegaskan Indonesia Tetap Non-Blok di Tengah Ketegangan Geopolitik Luar Negeri
BACA JUGA:Arah Kebijakan Politik Luar Negeri Prabowo: Pertahankan Prinsip Non-Blok hingga Gabung BRICS
BEBAS-AKTIF BERARTI BEBAS UNTUK AKTIF DI BANYAK FORUM?
Aktivitas diplomasi makin meningkat tajam. Presiden dan jajaran Kemenlu hadir dalam berbagai forum internasional, dari Moskow, Beijing, Riyadh, hingga Johannesburg untuk berbicara tentang perdamaian, kerja sama Selatan-Selatan, hingga energi hijau.
Namun, di balik kepadatan itu, tampak absennya kesinambungan arah. Terutama terdapat pergeseran orientasi dari diplomasi infrastruktur era Jokowi menuju diplomasi pertahanan era Prabowo memang memberi warna baru.
Prabowo yang tampil memimpin langsung delegasi dan kepentingan nasional senantiasa menggunakan bahasa keamanan sebagai jembatan geopolitik, sebuah strategi yang tegas namun berisiko membuat diplomasi Indonesia terlalu militeristis.
Konteks global yang makin kompleks menuntut koordinasi diplomasi yang solid, tetapi terdapat celah kelemahan dengan institusi yang tidak lagi terlihat sederhana.
Kehadiran menteri luar negeri bersama tiga wakil menteri luar negeri belum mampu mengover seluruh spektrum isu internasional yang kini mencakup pertahanan, energi, pangan, digital, hingga iklim.
Keterwakilan atas isu-isu internasional tertentu dengan sosok empat pembantu presiden tersebut tentu tidak dapat menjadi tolok ukur pasti dengan institusi kementerian yang masing-masing berjalan sendiri dengan agenda luar negeri seperti pertahanan, BUMN, investasi, ESDM, bahkan pendidikan.
Akibatnya, diplomasi kita tampak seperti orkestra tanpa dirigen.
Kemenlu terjebak menjadi pelaksana protokoler, bukan pengarah strategi. Aktivitas luar negeri terus bertambah, tetapi arah nilai dan pesan politiknya justru kian melemah.
Diplomasi berubah menjadi serangkaian kunjungan, bukan penyatuan visi yang konon mengilhami politik luar negeri bebas-aktif.