Prinsip bebas-aktif lahir dari idealisme etis: bebas menentukan sikap, aktif memperjuangkan perdamaian dan keadilan. Kini istilah itu sering diulang dalam pidato, tetapi kehilangan substansinya.
”Bebas” diartikan sebagai tidak terikat, bukan independen. ”Aktif” dipahami sebagai hadir, bukan memimpin.
Dalam kasus Gaza dan Ukraina, Indonesia berbicara tentang kemanusiaan, tetapi belum menunjukkan kepemimpinan moral. Dukungan politik sering berhenti di pernyataan, tanpa tindak lanjut diplomatik yang berarti. Di mata dunia, Indonesia terdengar simpatik meski belum cukup berani.
Bebas-aktif yang berubah menjadi bebas dari tanggung jawab dan aktif tanpa arah ditunjukkan dengan kepeloporan Indonesia pada G-20 beberapa waktu yang lalu dan sikap yang inkonsisten terhadap Israel dengan menawarkan pengakuan kedaulatan setelah Israel mau mengakui kedaulatan Palestina, sebagai wujud dari two-state solution.
DIPLOMASI IMPROVISATIF SECARA PRAKSIS
Ciri lain yang mencuat adalah kecenderungan improvisasi. Politik luar negeri tampak reaktif terhadap momentum global, bukan proaktif menuntun arah.
Indonesia mendekat ke BRICS+ ketika blok itu sedang naik daun, menggemakan Indo-Pasifik ketika tekanan geopolitik meningkat, tetapi belum memiliki kerangka konseptual yang memayungi keduanya.
Aktivitas tanpa peta itu menimbulkan ambiguitas: Indonesia tampak ingin memimpin Global South, tetapi juga berhati-hati agar tidak menyinggung Barat.
Diplomasi seperti itu cepat bergerak dengan hadir pada banyak forum, tetapi tidak menanamkan makna, terutama dalam menavigasi arah sejarah.
Pertama, pada BRICS+ Indonesia menunjukkan antusiasme pada kerja sama Selatan¬Selatan, tetapi statusnya masih kabur: bukan anggota, bukan pengamat resmi. Pemerintah bicara dedolarisasi, tapi belum menyiapkan kesiapan sistem keuangan nasional untuk menopangnya.
Kedua, Gaza dan Ukraina. Suara moral Indonesia terdengar kuat di mimbar PBB, tetapi lemah dalam diplomasi nyata. Tidak ada langkah konkret sebagai mediator atau inisiator resolusi kemanusiaan.
Ketiga, ASEAN dan Indo-Pasifik. Setelah Keketuaan 2023, diplomasi regional tampak menurun. ASEAN Outlook on the Indo-Pacific (AOIP) masih menjadi jargon tanpa turunan kebijakan yang menegaskan peran Indonesia sebagai jangkar stabilitas kawasan.
Tiga contoh tersebut menunjukkan hal yang sama bahwa Indonesia telah aktif dalam berbagai isu dan konteks, tetapi tanpa kerangka strategis yang menuntun keberlanjutan.
Padahal, dunia pascapandemi sedang bertransisi menuju tatanan multipolar yang memerlukan navigators, bukan followers. BRICS+ memperluas ruang ekonomi Global South, G-20 mencoba merumuskan tata kelola energi baru, sedangkan kawasan Indo-Pasifik menjadi ajang persaingan hegemoni.
Dalam situasi itu, Indonesia semestinya tampil bukan sekadar sebagai peserta forum, melainkan sebagai arsitek nilai: membawa pesan tentang keseimbangan, keberlanjutan, dan solidaritas global.
Namun, yang tampak justru kebingungan dalam menentukan prioritas. Diplomasi ekonomi bergerak sendiri, diplomasi pertahanan tampil menonjol, sementara diplomasi nilai tenggelam di balik pragmatisme.