Borobudur Marathon dan Cerita Keringat di Kaki Candi

Borobudur Marathon dan Cerita Keringat di Kaki Candi

ILUSTRASI Borobudur Marathon dan Cerita Keringat di Kaki Candi.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

BOROBUDUR MARATHON selalu menghadirkan dua sisi yang bertolak belakang. Di satu sisi, ada kemeriahan, semangat komunitas, wisata olahraga, dan euforia finis yang selalu membuat pelari tersenyum bangga. Namun, di sisi lain, ada drama yang tidak pernah terlihat dari kamera dan sorotan lampu. 

Drama yang basah oleh keringat, penuh perjuangan tubuh, dan diam-diam menuntut lebih dari sekadar tekad. Tahun demi tahun, gelaran itu menunjukkan bahwa lari bukan hanya tentang kuat dan cepat. lari adalah panggung besar yang menampilkan kemampuan tubuh manusia menghadapi tekanan, panas, dan batas energi yang perlahan terkikis.

Sejak fajar menyingsing, Borobudur sudah dipenuhi langkah kaki pelari yang menapaki area start dengan harapan besar. Mereka datang dengan berbagai alasan. Ada yang mengejar waktu terbaik, ada yang mencari pengalaman spiritual, ada yang hanya ingin merasakan sensasi berlari di salah satu tempat paling ikonik di Indonesia. 

BACA JUGA:Viral Pemasangan Lift di Candi Borobudur untuk Prabowo dan Macron, Istana Jami Tidak Merusak Struktur

BACA JUGA:Prabowo Pimpin Hari Pertama Kabinet, Dari Sapta Marga ke Borobudur Golf, Ini yang Diajarkan kepada Para Menteri

Meski udara pagi terasa sejuk, tubuh mereka sebenarnya sedang bersiap menghadapi peningkatan suhu inti yang akan datang secara perlahan namun pasti. Banyak peserta yang tidak menyadari bahwa tubuh bisa memanas dengan cepat hanya karena ritme lari stabil selama beberapa menit.

Ketika peluit start berbunyi, setiap pelari seakan berubah menjadi mesin kecil yang bergerak tanpa henti. Otot bekerja keras, jantung memompa darah lebih kuat, dan kelenjar keringat mulai beroperasi tanpa kompromi. Dari luar, semuanya terlihat tenang. Musik mengalun, kamera sibuk merekam, dan semangat penonton membara. 

Namun, di balik wajah ceria para pelari, tubuh mereka sedang melakukan negosiasi kompleks dengan sistem fisiologis untuk menjaga suhu tetap stabil. Drama pertama pun perlahan mulai muncul.

BACA JUGA:Kemenag Gelar Uji Publik Sebelum Pemasangan Puncak Chattra Candi Borobudur

BACA JUGA:BOB Downhill Borobudur Kembali Diadakan Tahun Ini, Lebih Dari 200 Peserta Bakal Berpartisipasi

Banyak pelari mungkin berpikir bahwa Magelang itu dingin sehingga risiko panas tidak terlalu besar. Padahal, panas saat berlari tidak selalu berasal dari cuaca. Panas internal tubuh meningkat lantaran produksi energi yang konstan. Itulah alasan mengapa beberapa pelari tiba-tiba merasa pusing, pandangan berkunang, atau keringat terasa tidak cukup untuk mendinginkan tubuh. 

Fenomena itu dikenal sebagai heat exhaustion. Kondisi ketika tubuh mulai kehilangan kendali terhadap keseimbangan panas dan cairan. Dari luar hanya terlihat pelari berhenti sejenak sambil membungkuk atau memegang kepala. Namun, sebenarnya tubuh sedang mengirim sinyal keras bahwa ada yang mulai tidak beres.

Di pos medis, drama heat exhaustion itu menjadi salah satu tamu pertama yang datang. Para pelari tiba dengan wajah memerah, detak jantung yang tidak stabil, dan kepala yang terasa ringan. Banyak dari mereka yang mengira hanya butuh air, padahal masalahnya lebih dalam. 

BACA JUGA:Pemerintah Targetkan Candi Borobudur Bisa Sedot 2 Juta Wisman

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: