GURU kencing berdiri, murid kencing berlari. Tulisan ini saya buka dengan peribahasa lawas. Dalam konteks dunia pendidikan, peribahasa itu berarti bahwa seorang guru harus menjadi teladan yang baik bagi murid-muridnya.
Walaupun kita sama-sama mengetahui bagaimana keteladanan itu sering kali alpa, bahkan oleh kebijakan pendidikan kita sendiri. Tuntutan guru sebagai pendidik acap kali tertutup oleh beban administrasi atau lebih parahnya lagi oleh kesejahteraan yang konon masih di ruang imajinasi.
MEMENJARAKAN GURU DALAM PUJIAN KEMULIAAN
Mungkin masih segar di ingatan kita soal pernyataan salah seorang menteri Kabinet Merah Putih. Ucapannya kira-kira seperti ini, ”kalau mau cari uang, jangan jadi guru”.
BACA JUGA:Guru sebagai Arsitek Peradaban
BACA JUGA:5 Tantangan Profesi Guru di Tahun 2025
Beliau menambahkan bahwa kemuliaan dan pengabdian guru jauh lebih bernilai daripada materi. Alasan yang sudah begitu basi untuk sekadar meninabobokan profesi guru dalam ruang penjara imajinasi.
Imajinasi kemuliaan dan pengabdian memang kerap kali menjadi dalih bagi pemangku kebijakan untuk menomorsekiankan nasib guru.
Sudah banyak kisah guru viral yang perjuangannya tak melulu soal materi, tetapi nahas, respons yang diberikan pejabat adalah mengapresiasi dan menjadikannya guru teladan.
BACA JUGA:Hari Guru Nasional 25 November, Sejarah, Tema, dan Susunan Upacara Resmi
Padahal, itu semestinya menjadi pukulan telak bagi para pejabat kalau mereka tak becus mengurus nasib guru.
Saya memilih kata ”penjara” untuk disandingkan dengan upaya pejabat meromantisasi kemuliaan yang kelak didapatkan semua guru.
Penjara menjadi semacam ruang paling aman untuk bersembunyi melupakan nasib gaji guru yang besarnya tak lebih banyak daripada harga tiket first class kereta cepat kebanggan kita semua.
Kondisi itu didukung oleh masyarakat kita yang sudah kadung mengimani dan mengamini bahwa guru memang sebagai jalan pengabdian yang mulia. Bukan sebagai profesi yang layak untuk dihargai secara materi.