BACA JUGA:Angon Angin, Saat Jiwa dan Tubuh Menyatu di Panggung Parade Teater Jatim 2025
Pada masanya, adegan tersebut mendapat pertentangan. Bahkan ada yang mengajukan fakta bahwa tak semua, bahkan sebagian besar anggota PKI tak merokok.
"Tapi Arifin menjawab dengan tegas, 'Saya perlu ekspresi artistik tentang kegelisahan. Maka, aktor-aktor itu saya gambarkan sedang merokok. Dengan begitu, mereka bisa tampak gelisah'," ujar pria kelahiran Baruah Gunuang, Sumatera Barat itu.
Tapi kebebasan ekspresi artistik tetap punya batasan. Yaitu esensi sejarah. Penulis sebaiknya tidak melakukan penafsiran yang mengurangi atau melenceng jauh di luar esensi tersebut.
Batasan itu pula yang dipahami oleh penulis naskah maupun mereka yang terlibat dalam pementasan Di Tepi Sejarah.
BACA JUGA:5 Buku yang Membangkitkan Nasionalisme dan Perjuangan Anak Muda, Sambut Sumpah Pemuda
BACA JUGA:Peluncuran Buku Seribu Gagasan Omah Ndhuwur, Hadirkan Perspektif Kritis tentang Kampung Bangunrejo
Happy menyisipkan harapan terkait perilisan buku tersebut, "Semoga naskah-naskah dalam Antologi Naskah Monolog Di Tepi Sejarah bisa dipentaskan oleh kalangan yang lebih luas. Seperti komunitas-komunitas teater. Terutama kalangan pelajar dan mahasiswa."
Suasana usai diskusi dalam perilisan buku Antologi Naskah Monolog Di Tepi Sejarah, 27 November 2025 di Gramedia Jalma, Jakarta.-Nadya Siregar-
"Karena dengan begitu, kisah hidup setiap tokoh bisa lebih dikenal publik. Produksi ilmu pengetahuan bisa terus bergulir. Sejarah pun bisa hadir dalam bentuk yang lebih luas. Demikian pula relevansinya terhadap keindonesiaan kita hari ini," tambahnya.
Menurut Happy, sebelas penulis naskah menyodorkan perspektif segar dalam penokohan, kisah, maupun sejarah di balik tokoh-tokoh di tepian sejarah.
"Mereka menyuarakan masa lalu. Tapi suara itu masih aktual dengan Indonesia hari ini," pungkas produser 45 tahun itu.
BACA JUGA:Iip D Yahya Rilis Buku Kedua tentang Oto Iskandar Di Nata
BACA JUGA:Rembugan Buku Ludruk UNESA, Lestarikan Budaya Jawa lewat Karya Sindhunata
Acara pun ditutup dengan open mic. Para pengunjung dan anggota Titimangsa bergantian membaca berbagai fragmen naskah dari buku tersebut. (*)