Benteng Etika di Tengah Tekanan Profesi

Jumat 28-11-2025,15:57 WIB
Oleh: Hisnindarsyah*

Kita sudah mendengar kabar seorang dokter yang dikenakan rompi oranye karena diduga malpraktek. Memang sebuah pemandangan yang mengiris hati nurani profesi. Kegelisahan yang timbul setelahnya adalah nyata.

Jika kemudian muncul pertanyaan-pertanyaan tentang keamanan serta masa depan praktik kedokteran di negeri ini, tentu adalah wajar. Namun, di tengah riak kekhawatiran ini, ada sebuah jangkar yang seringkali kita lupakan. Sebuah benteng kokoh yang kita bangun sendiri. Yaitu, disiplin profesi dan kode etik kedokteran.

Melihat rompi oranye yang disandingkan pada dr.R, pertanyaan apa saja yang muncul di benak kita, para dokter?

"Apakah profesi dokter ini masih aman?"

"Apakah saya bisa bekerja tanpa dihantui ketakutan?”

"Apakah saya akan menjadi tersangka yang berikutnya?"

Namun kali ini, saya mengajak untuk berfikir dari perspektif yang berbeda. Bukan tentang ketakutan, kegelisahan, dan kepanikan.

BACA JUGA:Dr. Hisnindarsyah: Gaya Hidup Sehat dan Penguatan Nilai Religius Kunci Pencegahan HIV/AIDS

BACA JUGA:Cheng Yu Pilihan dr Hisnindarsyah: Ji Shao Zhi Ju

Melainkan ketenangan yang lahir dari kedisiplinan dan kode etik. Karena sejatinya, profesi ini berdiri kokoh bukan karena sorotan publik, bukan karena gelar mentereng, tetapi karena nilai-nilai integritas.

Benteng pelindung profesi kedokteran tidak dibangun dari kekebalan hukum. Melainkan dari pilar-pilar etika, standar prosedur operasional (SPO), dan komunikasi efektif yang berlandaskan empati.

Sir William Osler mengatakan : "Pengobatan adalah ilmu ketidakpastian, seni probabilitas." Profesi dokter adalah profesi yang berjalan di atas ketidakpastian nasib. Namun bukan berarti kita bekerja tanpa kompas. Kompas itu bernama Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI). Peta jalannya bernama standar profesi. Dan pagar pelindungnya adalah disiplin ilmu serta ketertiban dalam praktik.

Ketika seorang dokter mematuhi setiap langkah dalam SPO, mendokumentasikan rekam medis dengan cermat, dan membangun komunikasi yang transparan dengan pasien serta keluarganya, maka sejatinya sedang membangun benteng perlindungannya sendiri. Setiap lembar informed consent yang dijelaskan dengan sabar, setiap catatan perkembangan pasien yang ditulis dengan teliti, adalah perisai yang melindunginya dari tuduhan yang tidak berdasar.

Ancaman kriminalisasi memang menciptakan bayang-bayang yang menakutkan. Namun, membiarkan bayangan itu mendominasi ruang praktik hanya akan menggerus fokus kita dari tujuan utama, yaitu menolong pasien. Sebaliknya, ketika kita menjadikan etika dan disiplin sebagai panglima dalam setiap tindakan, fokus kita secara otomatis akan kembali pada jalur yang benar.

Ketenangan datang dari kepatuhan. Dokter yang yakin telah mengikuti protokol terbaik yang ada, akan lebih tenang menghadapi hasil yang tidak diharapkan. Ia tahu bahwa ikhtiar maksimal telah dilakukan sesuai koridor ilmu dan etika.

Kategori :