Di sisi lain, dokter sudah melakukan yang terbaik, mengorbankan waktu, tenaga, pikiran, keahlian, bahkan dituntut sempurna. Ketika hasil buruk selalu dikaitkan dengan kesalahan, menimbulkan kelelahan, rasa tidak dihargai, dan muncullah ”benteng pertahanan”.
Kepercayaan adalah fondasi layanan kesehatan. Kepercayaan tidak hanya lahir dari gelar atau reputasi baik belaka, tetapi hasil dari makna relasi dokter dan pasien. Untuk membangun ulang kepercayaan sekaligus jembatan bagi kedua pihak, perlu beberapa langkah konkret.
Pertama, dokter tetap mempertahankan kasih dan kemanusiaan untuk menolong setiap pasien. Setiap risiko konflik yang bisa terjadi kiranya tidak membuat dokter kehilangan keluhuran motivasi dan kasihnya.
Kedua, dokter perlu memberikan informasi dan edukasi terhadap segala hal terkait kondisi pasien dan tindakan medis yang akan dikerjakan, termasuk risiko medis atau kemungkinan tidak terwujudnya harapan pasien. Komunikasi efektif dalam informed consent kiranya dapat menjadi penghubung antara pemberian informasi oleh dokter dan pemahaman pasien.
Ketiga, pasien perlu memahami bahwa risiko medis berbeda dengan kesalahan medis sehingga perlu menjadi ”smart patient” yang bertanya jika kurang memahami penjelasan dokter dan memperjelas risiko medis yang berisiko dialaminya.
Keempat, pembekalan dan pelatihan komunikasi efektif harus dilakukan secara berkelajutan dan terintegrasi dengan etika kedokteran, baik oleh institusi pendidikan dokter maupun organisasi profesi.
Kelima, perlindungan yang memadai dari pemerintah, baik bagi dokter maupun pasien. Jika terjadi konflik, perlu penyelesaian yang melibatkan pertimbangan berbagai pihak dan diselesaikan secara adil dan proporsional.
Kiranya relasi dokter-pasien kembali pada hakikatnya, yaitu dilandasi saling percaya dan berkomunikasi secara efektif sehingga patient centered care terwujud secara optimal. (*)
*) Ervin Dyah Ayu Masita Dewi adalah dokter, dosen, dan ahli bioetika humaniora kesehatan, FK Ubaya.