Humas: Merawat Rasa, Menjaga Reputasi

Sabtu 13-12-2025,22:48 WIB
Oleh: Suko Widodo*

Karena itu, humas perlu menggeser orientasi: tidak hanya mengejar ”citra”, tetapi juga membangun ”keterhubungan”. Tidak hanya mengemas prestasi, tetapi juga memastikan cara organisasi hadir itu manusiawi. Publik tidak menuntut kita sempurna: mereka menuntut kita hadir, jujur, dan konsisten.

KESALAHAN ITU PERISTIWA EMOSIONAL, BUKAN SEKADAR INFORMASI

Ini pelajaran paling pahit dalam krisis: kesalahan bukan hanya ”kejadian administratif”, melainkan juga peristiwa emosional. Publik marah bukan sekadar karena kurang informasi, melainkan karena merasa diabaikan, diremehkan, atau dikhianati.

Maka, klarifikasi yang rapi –penuh kronologi, pasal, dan angka– kadang justru terdengar seperti dalih. Ia mungkin benar secara dokumen, tetapi gagal menyentuh luka. Dalam krisis, respons pertama yang sering dibutuhkan publik bukan data, melainkan pengakuan: ”kami paham ini menyakitkan”, ”kami bertanggung jawab”, ”kami minta maaf”, ”kami perbaiki dan Anda bisa mengawasi langkahnya.”

Di titik itu, PR harus paham: pesan satu arah yang terpusat tidak akan memenuhi ekspektasi publik lagi. Publik ingin diajak bicara, bukan diberi pengumuman. Mereka ingin ditanggapi, bukan ditenangkan dengan poster.

James Grunig, profesor komunikasi yang dikenal lewat gagasan excellence theory, lama menekankan pentingnya komunikasi dua arah yang simetris: organisasi tidak hanya ”berbicara”, tetapi juga ”mendengar” dan bersedia menyesuaikan. 

Artinya, PR bukan seni mempertahankan versi, melainkan seni membangun kesepahaman. Ketika publik mempertanyakan, jawaban terbaik bukan ”kami sudah sesuai prosedur”, melainkan ”kami mendengar, kami jelaskan, dan bila ada yang salah, kami perbaiki.”

Sering kali, krisis membesar bukan karena kesalahan awalnya, melainkan karena respons yang terasa dingin, lambat, dan defensif. Publik bisa memaafkan kekeliruan, tetapi sulit memaafkan sikap yang seolah tidak punya rasa.

EMPATI DAN KECERDASAN EMOSIONAL: NAPAS BARU HUMAS

Kita hidup di ruang publik yang cepat panas. Karena itu, resonansi emosional bukan lagi pilihan; ia kebutuhan. Bukan untuk drama, apalagi manipulasi, melainkan untuk memastikan pesan hadir sebagai bahasa manusia. Bahasa yang memahami ketakutan warga, kegelisahan pelanggan, atau kekecewaan pemangku kepentingan.

Tanpa empati, PR justru menumbuhkan distrust. Publik membaca sikap lebih cepat daripada membaca isi. Nada defensif, kalimat menggurui, atau respons dingin bisa merusak kepercayaan lebih cepat daripada kesalahan awalnya. Orang mungkin lupa detail kasus, tetapi mereka ingat bagaimana mereka diperlakukan.

Di sanalah kecerdasan emosional menjadi kapabilitas PR yang penting. Daniel Goleman, psikolog yang memopulerkan konsep emotional intelligence, menjelaskan bahwa kemampuan mengenali emosi diri, mengelolanya, memahami emosi orang lain (empati), dan membangun keterampilan sosial adalah fondasi relasi. 

Dalam kerja PR, itu bukan teori yang mengawang. Itu keterampilan operasional: menahan ego saat diserang, memilih kata saat publik marah, mengakui salah tanpa berputar-putar, merespons kritik tanpa panik, dan memulihkan relasi tanpa menyulut amarah baru.

PR yang cerdas emosional paham bahwa ”benar” tidak selalu ”didengar” jika cara menyampaikannya melukai. Ia tahu kapan harus cepat meminta maaf, kapan harus memberikan ruang kepada korban, kapan harus menjelaskan secara jernih, dan kapan harus diam agar tidak memperkeruh. Ia juga tahu bahwa empati bukan pengganti perbaikan sistem –empati harus diikuti aksi nyata yang bisa dipantau.

Pada akhirnya, reputasi bukanlah apa yang kita tulis tentang diri kita. Reputasi adalah apa yang publik rasakan setelah berinteraksi dengan kita, terutama ketika kita salah. Karena publik ikut menulis narasi, tugas PR bukan menutup cerita, melainkan hadir di dalam cerita itu: mendengar, bertanggung jawab, dan memperbaiki.

Itulah humas hari ini: bukan sekadar pengelola informasi, melainkan perawat keterhubungan. Tidak hanya mengatur pesan, tetapi juga merawat rasa. Dan, di zaman yang serba-bising, sering kali yang paling menenangkan publik bukan kalimat yang paling panjang, melainkan sikap yang paling tulus. (*)

Kategori :