Membaca Tragedi Sumatera dengan Lensa Baru

Minggu 14-12-2025,06:33 WIB
Oleh: Jani Purnawanty*

Deforestasi, tambang terbuka, PLTA yang mengubah aliran sungai, jalan yang memotong tebing, serta perkebunan monokultur yang menyeragamkan kontur telah memutus jaringan pertahanan tersebut. 

Ketika iklim berubah makin ekstrem, Sumatera tidak lagi memiliki ”pengetahuan ekologis” yang dulu membuatnya mampu meredam hujan besar. Bencana terjadi dalam keadaan amnesia ekologis.

Pada titik itu, bencana tidak hanya disebabkan hujan yang lebih deras, tetapi karena setiap kesalahan kecil diperbesar oleh iklim yang makin tidak stabil. Ilmuwan menyebutnya climate amplifier

Satu lereng gundul dapat memicu longsor berantai. Satu keputusan tata ruang keliru mampu merusak satu kabupaten. Dalam rezim iklim yang menghangat, ruang kesalahan menyempit drastis. 

Jika dalam iklim stabil kelalaian teknis masih mungkin ditoleransi, dalam iklim kini setiap kekeliruan berubah menjadi pemantik malapetaka. Sumatera menyaksikan versi paling telanjang dari dinamika tersebut.

Karena itu, narasi ”takdir alam” tidak lagi memadai. Bencana yang terjadi lahir tidak hanya dari hujan ekstrem, tetapi dari ketidaksinkronan antara ekosistem yang berubah cepat dan institusi yang berubah lambat. 

Komitmen iklim memang tercantum di atas kertas, tetapi mekanisme implementasinya sering terseok, terjebak dalam sistem perizinan, proyek ekonomi, dan tata ruang yang tidak terhubung dengan realitas ilmiah. 

Yang tampak bukan sekadar salah urus, melainkan kegagalan epistemik, kegagalan memahami babak baru dunia.

Tragedi Sumatera juga menyingkap rapuhnya kedaulatan ekologis Indonesia. Penguasaan atas izin dan wilayah bukan jaminan kedaulatan substantif atas air, hutan, dan daerah aliran sungai. 

Kedaulatan ekologis justru terletak pada kemampuan suatu negara menjaga lanskap agar tetap resilien. Ketika deforestasi dan eksploitasi konsesi menghapus fungsi ekologis, negara mungkin berdaulat di atas kertas, tetapi tidak berdaya dalam kenyataan. 

Di tengah iklim yang berubah cepat, kedaulatan setipis itu tidak memiliki peluang bertahan.

Koreksi ke depan tidak dapat berhenti pada pembenahan teknis. Pergeseran lensa menjadi krusial. Tragedi itu mengingatkan bahwa adaptasi bukan semata urusan beton, tanggul, atau proyek raksasa. 

Adaptasi yang relevan dengan dunia yang makin panas berakar pada dua hal: penguatan modal alam dan resiliensi komunitas. Ahli ekonomi lingkungan sejak lama menekankan pentingnya mengakui hutan, DAS, rawa, dan ekosistem sebagai aset negara. 

Jika ekosistem diperlakukan sebagai modal strategis, kerusakan 1 hektare hutan akan terbaca sebagai depresiasi aset, bukan sekadar biaya sampingan dalam pembangunan.

Di saat yang sama, komunitas lokal –yaitu masyarakat adat, jaringan relawan, kelompok perempuan pengelola lahan, organisasi tapak– sering kali lebih cepat membaca tanda alam jika dibandingkan dengan birokrasi. 

Mereka memiliki ecological intelligence yang tumbuh dari praktik hidup turun-temurun. Ketahanan yang paling nyata justru lahir dari pemulihan hulu berbasis adat, pemetaan risiko berbasis warga, dan pengelolaan ruang hidup sehari-hari. 

Kategori :