Hukum Bisa Direkayasa, tapi Alam Tak Pernah Bohong

Kamis 18-12-2025,12:50 WIB
Oleh: Sultan Baktiar Najamudin*

BACA JUGA:Papan Bunga dan Pohon Hidup: Refleksi Penguatan Literasi Lingkungan

Angka-angka tersebut menunjukkan bahwa selama lebih dari 50 tahun, pembangunan bangsa ini bertumpu pada pemanfaatan agresif sumber daya alam. Dan, setiap hektare yang hilang meninggalkan konsekuensi yang kini harus kita tanggung sebagai anak bangsa. 

IKLIM YANG MEMANAS: ANCAMAN NYATA, BUKAN PROPAGANDA

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mencatat bahwa suhu Indonesia telah meningkat ±0,8°C sejak 1981. 

Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) menempatkan Asia Tenggara dalam zona pemanasan sekitar 0,14–0,20°C per dekade atau 0,7–1°C selama 50 tahun terakhir. 

Pemanasan tersebut bukan angka abstrak. Ia terasa sehari-hari: musim yang kacau, gelombang panas yang lebih panjang, dan hujan ekstrem yang meningkat 30–40 persen di banyak wilayah Indonesia. 

Bappenas dan BNPB menyebutkan bahwa ±135 juta warga Indonesia kini tinggal di wilayah risiko banjir, longsor, dan bencana hidrometeorologi. Artinya, lebih dari setengah penduduk negeri ini hidup di atas garis bahaya. 

Seperti membalik sejarah. Apa yang kita lakukan hari ini akan dicatat oleh anak cucu kita ke depan. Langkah yang kita pilih sekarang akan menentukan apakah Indonesia masih layak dihuni dalam 30–50 tahun ke depan. Dalam dunia yang kian panas, kita tidak bisa lagi berpura-pura bahwa ini hanya siklus alam.

Rentetan bencana yang sama, dari waktu ke waktu, adalah bukti konkret. Apakah harus berdebat lagi soal sebab musababnya? Hukum bisa direkayasa, tapi alam tak pernah bohong. 

DEFORESTASI: LUKA MENGANGA YANG TAK PERNAH SEMBUH

Data dari KLHK dan Global Forest Watch (GFW) menunjukkan bahwa pada 1990 hingga 2015, Indonesia kehilangan 23,7 juta hektare hutan primer dan sekunder. 

Tahun 2011 menjadi titik terburuk, dengan hilangnya 918.678 hektare hutan dalam satu tahun. Pada 2015, kebakaran besar melalap sekitar 2,6 juta hektare, meninggalkan kabut asap yang menjangkiti seluruh kawasan Asia Tenggara.

Memang pada 2016–2021 angka deforestasi menurun, tetapi tetap berada pada kisaran 300.000–480.000 hektare per tahun. Dan, sejak 2022 varian datanya kembali naik akibat ekspansi tambang nikel, perkebunan monokultur, dan megaproyek infrastruktur.

Penelitian hidrologi oleh CIFOR (Bruijnzeel, 2004), FAO, serta riset klasik Hewlett & Hibbert menunjukkan bahwa hutan tutupan lebat mampu mengurangi 20–50 persen limpasan air hujan, melalui intersepsi tajuk, infiltrasi tanah, dan penyerapan akar. 

Ketika hutan rusak, kemampuan itu tinggal 5–20 persen. Artinya, lebih banyak air yang meluncur deras ke hilir, membawa serta tanah, batu, bahkan jiwa manusia.

Banjir dan longsor di Sumut-Sumbar-Aceh bukanlah kejutan. Ia adalah respons alam terhadap hutan yang dipangkas dan sungai yang dipersempit.

Kategori :