Spirit Permusyawaratan Dua Generasi NU

Senin 29-12-2025,05:33 WIB
Oleh: Fathorrahman Ghufron*

Dalam kaitan ini, Al-Qur’an telah memberikan petunjuk teknis ketika terjadi perselisihan. 

Surah Al-Imran ayat 59 secara tegas menarasikan, ”Maka, berkat rahmat Allah engkau (Nabi Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Seandainya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka akan menjauh dari sekitarmu. Oleh karena itu, maafkanlah mereka, mohonkanlah ampunan untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam segala urusan (penting). Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertawakal.”

Secara yuridis, ayat tersebut bisa digunakan sebagai payung hukum untuk melakukan musyawarah dan sekaligus menghilangkan ego sektoral. Bahkan, di ayat tersebut menuntut siapa pun yang berselisih untuk merumuskan konsep win-win solution agar sebuah urusan yang diyakini bisa menjadi jalan kebaikan bersama. 

Secara ideologis, spirit permusyawaratan yang ditegaskan dalam Al-Qur’an senapas pula dengan sila ke-4 dalam Pancasila. ”Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyaratan/perkwakilan” merupakan sebuah nomos yang mengajarkan setiap bangsa agar menggunakan musyawarah sebagai media menuju kesepakatan. 

Apabila kesepakatan telah diambil sebagai jalan keluar, siapa pun yang berselisih harus menjunjung tinggi dan menjalankannya dengan rasa tanggung jawab. 

Pada titik itu, spirit permusyawaratan yang diajarkan dalam Al-Qur’an dan ditegaskan pula dalam Pancasila menjadi sebuah code of conduct bagi kita dalam menyikapi setiap persoalan yang terjadi. 

Setiap pihak harus mengutamakan kepentingan bersama (maslahah ’ammah) dan mengesampikan kepentingan pribadi. Dengan prinsip itu, musyawarah yang dilakukan berbasis pada akal budi yang sehat dan hati nurani yang luhur.

SUARA KAUM MUDA DAN KAUM TUA

Dua landasan epistemologi tentang spirit permusyawaratan yang tertuang dalam Al-Qur’an dan Pancasila menjadi inspirasi bagi bertemunya suara kaum muda NU dan kaum tua (sesepuh) NU. 

Dua elemen penting pergerakan NU yang berbeda usia tersebut sama-sama menyadari bahwa musyawarah adalah jalan paling demokratis untuk mendudukkan semua perselisihan yang telah mendera sebagian elite PBNU. 

Melalui forum permusyawaratan yang digelar di dua tempat, kaum muda NU yang tergabung dalam Gusdurian dan sesepuh NU sama-sama menggaungkan warisan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) bahwa ”tidak ada jabatan di dunia ini yang perlu dipertahankan mati-matian”. 

Meskipun secara geografis keduanya terpisah jarak (kaum muda NU melaksanakan musyawarah besar di Ciganjur, Jakarta, dan para sesepuh menggelar musyawarah kubro di Lirboyo, Kediri), keduanya mempertemukan prinsip yang setara. 

Yaitu, ada nilai ke-NU-an yang lebih besar yang harus diperjuangkan daripada terjebak pada kepentingan sektoral.

Dualisme kepemimpinan PBNU yang selama ini dipertahankan kedua pihak harus segera diakhiri melalui mekanisme yang absah dan berlandaskan pada prinsip khittah NU. 

Tidak sepatutnya, NU yang selama ini telah diakui sebagai salah satu organisasi keagamaan terbesar di Indonesia bahkan dunia harus dikendalikan oleh dua orang pemimpin. 

Oleh karena itu, kedua pihak yang selama ini telah dianggap ”rebutan” pucuk pimpinan NU harus mematuhi pada jalur permusyawaratan yang digelar oleh kaum muda NU dan sesepuh NU. 

Kategori :