Pulau Natuna
Perpres Nomor 63 Tahun 2019 tentang Penggunaan Bahasa Indonesia (BI) dirilis Presiden RI Kamis lalu (10 Oktober 2019). Otomatis itu membatalkan perpres sebelumnya. Yang di era SBY. Yang No 16 Tahun 2010.
Kita patut mengapresiasi hal tersebut. Perpres 63/2019 merupakan aturan teknis dari UU 24/2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan. Isinya lebih lengkap. Tidak hanya mengatur pidato presiden, wakil presiden, dan pejabat negara lainnya. Baik di dalam maupun luar negeri. Yang harus berbahasa Indonesia.
Lalu, siapakah yang mengawasi penggunaan bahasa Indonesia? Di perpres terbaru hanya disebutkan menteri. Itu jika di pemerintah pusat. Menteri/kementerian apa? Wallahua’lam.
Kalau di daerah, pemda (gubernur, bupati/wali kota)-lah yang bertugas.
Taruhlah nanti Kemendikbud yang menjabat ”polisi bahasa”. Sekarang kita amati salah satu unggahan Mendikbud Muhadjir Effendy di Instagram.
”Wajah ceria siswa-siswi SD di pulau Natuna,” tulisnya untuk takarir foto yang diunggah pada 24 September 2019.
Kita bedah dengan pisau Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI). PUEBI berlaku setelah disahkannya Permendikbud 50/2015 tentang PUEBI.
Itu menggantikan Permendiknas 46/2009 tentang PUEBI yang Disempurnakan.
Menggantikan Kepmendikbud No 0543a/U/1987 tentang Penyempurnaan EYD.
Menggantikan Kepmendikbud No 0196/U/1975 tentang Pedoman Umum EYD.
Menggantikan Keppres 57/1972 tentang EYD.
Menggantikan Ejaan Republik atau Ejaan Soewandi (1947–1972), Ejaan Van Ophuysen (1901–1947).
Pemerintah tidak lagi menggunakan kata ”disempurnakan”. Mungkin sudah insaf. Kesempurnaan itu memang hanya milik Tuhan Yang Maha Esa.
Kembali ke takarir. Huruf ”P” dalam kata ”pulau Natuna” seharusnya ditulis kapital. Di PUEBI disebutkan dengan gamblang, huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama nama geografi.
Misalnya: Jakarta, Asia Tenggara, Pulau Miangas, Amerika Serikat, Bukit Barisan, Jawa Barat, Dataran Tinggi Dieng, Danau Toba, Jalan Sulawesi, Gunung Semeru, Ngarai Sianok, Jazirah Arab, Selat Lombok, Lembah Baliem, Sungai Musi, Pegunungan Himalaya, Teluk Benggala, Tanjung Harapan, Terusan Suez, Kecamatan Cicadas, Gang Kelinci, dan Kelurahan Rawamangun.
Ada pengecualian:
(1) Huruf pertama nama geografi yang bukan nama diri tidak ditulis dengan huruf kapital. Misalnya:
- berlayar ke teluk mandi di sungai
- menyeberangi selat berenang di danau
(2) Huruf pertama nama diri geografi yang dipakai sebagai nama jenis tidak ditulis dengan huruf kapital. Misalnya:
- jeruk bali (Citrus maxima)
- kacang bogor (Voandzeia subterranea)
- nangka belanda (Anona muricata)
- petai cina (Leucaena glauca)
Nama yang disertai nama geografi dan merupakan nama jenis dapat dikontraskan atau disejajarkan dengan nama jenis lain dalam kelompoknya. Misalnya:
- Kita mengenal bermacam-macam gula, seperti gula jawa, gula pasir, gula tebu, gula aren, dan gula anggur.
- Kunci inggris, kunci tolak, dan kunci ring mempunyai fungsi yang berbeda.
Contoh berikut bukan nama jenis.
- Dia mengoleksi batik Cirebon, batik Pekalongan, batik Solo, batik Yogyakarta, dan batik Madura.
- Selain film Hongkong, juga akan diputar film India, film Korea, dan film Jepang.
- Murid-murid sekolah dasar itu menampilkan tarian Sumatera Selatan, tarian Kalimantan Timur, dan tarian Sulawesi Selatan.
Demikian. Mari mulai perubahan dari diri sendiri. Mumpung belum ada sanksi. Yang mungkin diberikan menteri.(Yusuf M. Ridho)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: