Serial Dimaz Muharri (10): Mulai Bergabung ke CLS

Serial Dimaz Muharri (10): Mulai Bergabung ke CLS

Dimaz Muharri dan para pemain dari STMIK-Mikroskil, Medan, langsung tinggal di Mess pemain CLS di GOR Kertajaya. Bergabung dengan pemain-pemain CLS yang sudah ada sebelumnya.

---

CLS adalah klub legendaris di Surabaya. Siapa yang tidak tahu CLS. Yang markasnya di GOR Kertajaya itu. Klub itu didirikan 75 tahun silam. Bermula dari sejumlah pemuda Tionghoa yang gemar basket di sekolah. Awal berdiri, memakai nama Tionghoa, Cun Lie Se.

Baru pada zaman Orde Baru, ada kewajiban memakai nama Indonesia untuk organisasi atau yayasan. Maka, CLS berubah kepanjangannya menjadi Cahaya Lestari Surabaya. Pada 1990-an awal, mereka memiliki GOR basket yang dikenal dengan nama GOR Kertajaya. Gedung itu berdiri megah hingga sekarang.

Nama CLS kemudian menasional. Para pemainnya di era 1950-an dan 1960-an ikut membela timnas. Antara lain Sin Han dan Gatot Sugiarto. CLS juga ikut Kompetisi Bola Basket Utama (Kobatama). Sejak pertama digelar pada 1982 hingga liga itu berhenti pada 2002. Bukan berhenti, tapi sempat diturunkan kastanya sejak ada Indonesian Basketball League (IBL).

Pemain CLS yang berjaya di Kobatama, antara lain Filix Bendatu, Hardono Putro, Rudi Wijaya, dan Ming Sudarsono. Lalu ada Rony Gunawan, Agung Sunarko, dan Hari Suharsono.

CLS melakukan perubahan besar pada 2007. Yayasan CLS menyerahkan manajemen tim ke tangan profesional. Masuklah Christopher Tanuwidjaja. Saat itu, Itop–sapaan Christopher Tanuwidjaja– punya klub basket Knights Mikroskil. Klub yang berisi para pemain Libama eks STMIK-Mikroskil, Medan. Juara Libama Nasional 2005 dan 2006.

Sembilan pemain dan pelatih Simon Wong diboyong. Mereka dikuliahkan di Universitas Surabaya (Ubaya). Juga ikut membela Ubaya di Libama Nasional 2007. Sejak itulah nama klub itu menjadi CLS Knights.

Dimaz tidak langsung membela CLS Knights di seri I IBL 2007/2008. Itu karena Dimaz sempat diminta oleh klub lamanya, Analisa, untuk tampil di Kobatama. Setelah ada IBL, Kobatama sempat menjadi kompetisi kasta kedua. "Analisa tim debutan di Kobatama. Saya akhirnya tampil bersama Analisa di Kobatama," kata pemain basket yang selalu memakai nomor 17 itu.

Analisa adalah klub tempat Dimaz bernaung sebelum bergabung ke STMIK-Mikroskil. Setelah Kobatama selesai, Dimaz bergabung dengan CLS yang sedang bertanding di seri pertama IBL di Jakarta. "Saya tidak dimainkan karena memang tidak ikut latihan dan belum mendapat jersey," kata pemain basket 36 tahun itu.

Dimaz beruntung. Regulasi sebelumnya, pemain Kobatama tidak bisa langsung bertanding ke IBL. Harus menunggu musim berikutnya. Namun tahun itu regulasi memperbolehkan pemain Kobatama bisa langsung ikut tim IBL di musim yang sama.

Baru di seri kedua, 2008, Dimaz masuk starting five. CLS Knights dengan materi pemain muda yang baru mentas dari Libama, masih kesulitan menghadapi dominasi Satria Muda, Aspac, maupun Bhinneka. "Kami waktu itu seimbang dengan Kalila, Stadium, atau Hang Tuah," kata Godim–sapaan Dimaz oleh kakaknya.

Meski begitu, hasil yang diraih di IBL cukup lumayan. Masuk babak playoff. Dimaz harus angkat topi dengan Simon Wong. Saat itu Simon adalah pelatih muda. Selisih dua tahun lebih tua daripada para pemain CLS Knights yang mantan Mikroskil. Ia kalah senior dengan pemain lama CLS. Apalagi dengan para pelatih IBL kala itu. Tapi, Simon bisa memimpin timnya dengan baik.

Hubungan Dimaz dengan Simon Wong juga cukup dekat. Bahkan saat awal di CLS, Dimaz sekamar dengan Karno "Acong" Hasan dan Simon Wong. Gaya Simon memang membaur dengan pemain. Seperti teman.

AKSI Dimaz Muharri saat membela CLS Knights. (Foto: Dokumentasi Dimaz Muharri)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: