Panggung Sandiwara Dipuji Jokowi
Merujuk teori sosiologi ”proletar-borjuis” karya sosiolog Jerman Karl Heinrich Marx (1818–1883) yang kemudian diimprovisasi sosiolog Jerman Maximilian Karl Emil Weber (1864–1920) menyatakan begini:
”Rakyat miskin kelas bawah pasti membela pemimpin dari golongan yang sama dengan mereka.” Tapi, dalam Pilpres 2019 beda tipis. Pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin 55,50 persen. Pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno 44,50 persen.
Berarti dukungan rakyat yang mayoritas miskin cenderung ke pasangan yang bukan proletar. Suatu anomali. Tepatnya: Inilah antitesis dari teori ”proletar-borju”. Tanpa melibatkan indikator politik pendukung. Seperti money politics, identity politics, dan lainnya.
Gampangnya: Ada tabrakan mobil versus motor. Di sekitar kawasan kumuh, padat penduduk. Sopir mobil dan motor berdebat. Terjadi kompetisi hak. Warga ternyata membela mobil.
Terbukti, di kepemimipinan Jokowi berjalan alot. Penuh percikan ”404 Not Found”. Mulai rakyat jelata yang kagak makan sekolah sampai kalangan kampus. Riuh rendah menohok Jokowi.
Tak kurang, putri Bung Karno Megawati Soekarnoputri via YouTube, Rabu (18/8), menangis. Gegara Jokowi sering dihina rakyatnya.
Rakyat mayoritas miskin itu ternyata tidak berpihak pada putra Sudjiatmi. Perempuan Solo yang sederhana dan cerdas. Yang, selayaknya kita berterima kasih kepada Sudjiatmi, sang pelahir Jokowi.
Jokowi bagai mati angin buat sebagian rakyatnya. Sudah terbukti selama tujuh tahun kepemimpinannya ini. Diakui atau tidak.
Mengapa bisa begitu? Lalu, rakyat pem-bully Jokowi itu ingin presiden yang bagaimana di Pilpres 2024? Sosok siapa?
Semua calon pemimpin pasti berpura-pura. Seperti halnya calon suami atau istri pun berpura-pura. Sebelum benar-benar jadi suami atau istri.
Simak ending lagu Albar: ”Ada peran wajar…Dan ada peran berpura-pura…”
Mengapa kita, bersandiwara…(*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: