Kredit untuk Yang Tidak Bankable

Kredit untuk Yang Tidak Bankable

HOLDONG Ultra-Mikro (UMi) BUMN akhirnya terbentuk. Pemerintah menggabungkan saham PT Pegadaian dan PT Permodalan Nasional Madani (PNM) ke Bank BRI. Nilainya mencapai Rp 54,7 triliun. Tujuan pembentukan holding ini adalah untuk meningkatkan porsi pembiayaan ultra-mikro hingga 30 persen tahun 2024. Dengan menjadi holding ultra-mikro, maka BRI ke depan akan lebih fokus pada sector UMKM.

Pembentukan dan tujuan mulia di balik keberadaan holding ini tentu menjadi kabar baik bagi usaha mikro. Sebab, selama ini, usaha mikro kurang diperhatikan oleh industri keuangan. Padahal, dari sisi jumlah, mencapai 99,9 persen dari jumlah usaha di Indonesia. Jumlah usaha besar bahkan kurang dari 0,01 persen, yaitu hanya 5.400-an. Sementara UMKM, yang sangat didominasi usaha mikro, mencapai 64 juta usaha.

Selama ini, ada dua persoalan utama pembiayaan usaha mikro. Pertama adalah sulitnya mengakses lembaga keuangan formal. Mereka umumnya tidak bankable. Perbankan enggan memberi kredit karena tidak memenuhi 5 C. Terutama untuk collateral (jaminan) dan capacity (kemampuan). Apalagi, usaha mikro biasanya tidak memiliki laporan keuangan yang diperlukan perbankan untuk menilai kelayakan usaha dan prospeknya.

Karena tidak bisa mengakses lembaga keuangan formal, banyak usaha mikro yang terjebak pada rentenir berbunga tinggi. Pada akhirnya, ini ibarat jebakan buat mereka. Sebab, hasil usahanya lebih banyak untuk membayar biaya modal yang sangat mahal. Rata-rata, kredit kecil dari lembaga keuangan non-formal ini mencapai 10 persen hingga 50 persen sebulan.

Pembentukan holding ultra-mikro yang focus pada pembiayaan skala kecil--maksimal Rp 10 juta--ini harus menjadi solusi bagi jutaan usaha mikro. Bagi mereka, kemudahan akses adalah yang paling penting. Dengan kredit maksimal Rp 10 juta, mereka harus difasilitasi dengan syarat administrasi yang sederhana. Sebab, mereka umumnya tak mampu memenuhi persyaratan untuk memperoleh KUR di perbankan.

Persoalan kedua adalah tingginya bunga atau biaya modal. Secara alamiah, kredit pada usaha mikro ini high cost. Bunga atau margin kreditnya menjadi mahal. Ini karena lembaga keuangan membutuhkan SDM yang sangat banyak untuk menyalurkan kredit mikro.

Bbank bisa memberikan kredit Rp 1 triliun kepada satu nasabah besar.  Tapi, uang Rp 1 triliun untuk kredit Rp 10 juta-an akan dibutuhkan 100 ribu nasabah. Maka bisa dibayangkan, berapa karyawan yang harus dipekerjakan untuk menyalurkan kredit Rp 100 triliun ke ultra-mikro untuk 1 juta nasabah.

Karena itu, tanpa keberpihakan dan subsidi dari pemerintah, maka margin atau bunga yang harus dibayar usaha ultra-mikro akan sangat tinggi. Itu akan membuat usaha mikro tidak bisa bersaing dengan usaha besar. Subsidi menjadi suatu keniscayaan bagi mereka. Jika KUR disubsidi sehingga margin pembiayaan hanya 6 persen, maka semestinya untuk usaha mikro ini bisa sama atau lebih rendah.

 

Perlu Pemberdayaan

Kredit atau pembiayaan kepada usaha mikro ini tidak bisa dipandang hanya dari sisi bisnis. Kredit harus dalam rangka pemberdayaan usaha mikro, sehingga mereka memiliki masa depan. Untuk itu, pemerintah tidak bisa hanya memberi kredit kepada mereka tanpa adanya proses pemberdayaan. Diperlukan adanya pendampingan manajemen, produksi, dan pemasaran agar usaha mereka bisa berkelanjutan.

Secara konsep, pemberdayaan usaha mikro melalui lembaga keuangan ada dua model. Pertama, banking for the poor. Lembaga keuangan yang diperuntukkan bagi orang-orang miskin dan usaha mikro. Model holding ultra-mikro yang akan focus pada pembiayaan usaha mikro dan penyaluran KUR melalui perbankan adalah model ini.

Agar efektif, maka pembiayaan ultra-mikro ini memerlukan langkah pemberdayaan. Mereka perlu peningkatan kapasitas baik manajerial, produksi, keuangan, maupun pemasaran. Sebab, umumnya, usaha mikro dikelola oleh SDM dengan skill rendah. Tanpa pemberdayaan, pembiayaan tidak akan efektif dan berpotensi bermasalah.

Untuk itu, pemerintah perlu menggandeng pemerintah daerah atau LSM pemberdayaan usaha mikro yang di Indonesia cukup banyak. Dengan langkah ini, potensi keberhasilan usaha pasca pembiayaan akan semakin tinggi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: