Menapak Tilas Jejak Alexander Agung
Aku berjalan menyusuri trotoar di pantai tersebut. Di sela semilir angin laut yang menerpa tubuhku. Aku sempat berkunjung ke wilayah nelayan. Perahu-perahu pencari ikan bersandar. Ada juga sebuah monumen. Sepertinya monumen perjuangan Turki. Seragam prajuritnya seperti seragam era Kerajaan Ottoman.
Kubuka Google Map untuk melihat penginapan terdekat. Kutemukan sebuah resort di daerah Eçmeler. Letaknya agak jauh dari tempatku. Segaris lurus dengan pantai. Tapi untuk ke sana harus naik angkutan umum.
Pelabuhan yang sibuk dengan aktivitas nelayan di Marmaris. (Ni Luh Putu Budiningsih untuk Harian Disway)
Perjalanan dari Marmaris ke Eçmeler memakan waktu 15 menit. Melewati jalanan pinggir pantai. Ketika lewat, masih di daerah Marmaris, kulihat jejak-jejak kebakaran. Rupanya Agustus lalu terjadi kebakaran hebat di daerah tersebut. Pemerintah Turki sempat dibuat pusing, sampai Presiden Erdogan turun tangan.
Angkutan umum yang kutumpangi berhenti tak jauh dari resort tersebut. Letaknya di daerah Eçmeler berbatasan dengan Marmaris. Masih di wilayah pantai. Lokasi kebakaran itu juga tak begitu jauh. Di sisi utara resort.
Tarif menginapnya 900 lira semalam. Fasilitasnya all in. Makan tiga kali sehari. Beberapa hari aku menginap di resort tersebut. Tiap sore kusempatkan bersantai di pantainya. Di bawah sebuah payung di atas papan kayu.
Menikmati senja dan melihat dua camar laut berkejaran. Sayapnya mengembang, berkepak. Sesekali menukik. Si camar yang berada di belakang tampak tergesa-gesa, seperti ingin menyalip atau meraih perhatian camar yang berada di depan. Tampaknya si jantan yang berharap, dan si betina yang jual mahal.
Esoknya, aku berinisiatif menuju Fethiye. Sebuah kota teluk di Turki. Di sana terdapat bangunan kuno Ancient City of Telmessos. Dari Eçmeler ke Fethiye naik bus, memakan waktu satu jam dengan tarif 50 lira.
Bangunan kuno tersebut terdapat di tebing batu padas. Sangat megah. Pilarnya seperti kuil Yunani kuno. Katanya, bangunan tersebut berusia sekitar 200 tahun sebelum Masehi. Dulu dipakai sebagai sekolah peramal. Tokoh-tokoh besar seperti Raja Lydia Croesus maupun Alexander Agung pernah kemari. Jadi perjalananku semacam napak tilas.
Suasana Desa Hantu di Fethiye, sebuah desa yang menarik justru karena kondisinya yang tinggal puing-puing. (Ni Luh Putu Budiningsih untuk Harian Disway)
Tak jauh dari situ terdapat pula bangunan kuno berjajar di tebing. Sepertinya makam lama. Pondasinya dari kayu. Mungkin karena letaknya dekat dengan Yunani, kebudayaan atau seni arsitektur kuno dua negara sangat mirip.
Terlebih di sebelah barat, terdapat Ghost Village, atau ”Desa Hantu”. Desa yang tinggal puing-puing bangunan. Tak berpenghuni dan kini dimanfaatkan sebagai tempat wisata sejarah.
Jika di Indonesia, mendengar nama Ghost Village, pembuat konten horor pasti berbondong-bondong ke sana untuk melakukan uji nyali. Tapi bagi orang Turki, tempat itu potensial untuk mendulang pemasukan dari segi pariwisata.
Desa Hantu dulu dihuni oleh orang Yunani dan Turki. Sekian lama hidup berdampingan dengan harmonis, hingga tercipta konflik yang membuat mereka berperang. Desa itu pun hancur dan ditinggalkan penduduknya.
Dari balik tebing desa kuno tersebut, dari ketinggian, kulihat Laut Mediterania. Hari sudah sore. Matahari telah ingin tenggelam. Aku kembali ke resort. Tampaknya aku akan berada di Turki dalam waktu cukup lama. Suasananya syahdu mengharu-biru. Bikin kerasan. (Guruh Dimas/*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: