Berbusana Sumba Timur, Bagikan Rujak-Dawet-Bubur
Dalam masyarakat Jawa, ibu hamil yang memasuki usia kandungan tujuh bulan, menjalani prosesi yang disebut tingkeban atau mitoni. Oleh ibundanya, Swandayani Swan, Hanamunti Rambu ditingkebi dengan cara gado-gado. Ala Swan tentu saja.
Di Studio Tedja Suminar, Jalan Lapangan Dharmawangsa, Surabaya, kediaman Swan -panggilan Swandayani- terlihat sibuk. Munti -panggilan Hanamunti- dituntun langkahnya oleh Tito Prasetyo, suaminya. Kurang dua bulan lagi anak pertama mereka akan lahir. Maka sebagai doa, usia kehamilan tujuh bulan itu diselamati.
Hanamunti Rambu dan Tito Prasetyo yang tampak berbeda dengan dandanan busana kain tenun khas Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur, koleksi ibunya. (Dwi Susi Budiar untuk Harian Disway)
Swan menjadi pengatur jalannya prosesi. Sekaligus pencetus ide tingkeban. Dia mendandani anak dan menantunya berbusana kain tenun khas Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur. Tentu saja hal ini unik mengingat tingkeban adalah tradisi Jawa. Harusnya mengenakan busana Jawa berupa kain jarit batik, bukan?
”Biar makin meneguhkan kalau saya orang Indonesia. Tingkeban ini tidak mewakili etnis tertentu. Ayah Sumba Timur, mama Jawa. Saya lahir di Bogor, besar di negara Yaman, ke Bogor lagi. Lulus SMA baru balik ke Surabaya. Jadi prosesi ini mengarah ke budaya Indonesia,” ungkap Munti.
Terlebih, nama Hanamunti memang mengandung unsur bahasa Sumba Timur. Nama itu diberikan oleh Swan, terinspirasi dari nama ibunya. ”Ibu saya bernama Anastasia Muntiana. Kata munti berasal dari kata muti. Dalam bahasa Sumba Timur berarti perhiasan batu mulia yang sangat indah,” ujarnya.
Makanya setelah lahir, anak keduanya itu diberi nama Munti pula. Kini, ketika Munti mengandung tujuh bulan, maka prosesi tingkebannya mencampurkan dua kebudayaan berbeda namun selaras. Antara Jawa dan Sumba Timur.
Senada dengan Munti, sebagai pengarah busana dan tata upacara, Swan merasa tak ada yang salah dengan tingkeban yang digelarnya. ”Jika saya salah, saya mohon maaf. Tapi tujuannya mengambil sisi Indonesia. Bangsa ini sangat kaya dengan ragam jenis ritus dan busana. Saya rasa tak masalah apabila prosesinya memakai kain tenun ikat,” ungkapnya.
Karena itu kepada keduanya, Swan menjelaskan makna tingkepan dalam tradisi Jawa. Mitoni berasal dari kata pitu atau tujuh. Artinya, agar calon ibu senantiasa diberi pitulungan atau pertolongan dari Tuhan. Sehingga proses kelahiran nanti, ibu serta bayinya sehat dan selamat.
Proses pemotretan kedua calon ayah-ibu oleh fotografer pilihan Swandayani Swan, Dwi Susi Budiar. (Dwi Susi Budiar untuk Harian Disway)
Untuk memberi tanda, Swan menggelar pemotretan. Seolah baby shower ala Barat. Dia memilih fotografer perempuan bernama Dwi Susi Budiar untuk memotret momen tingkeban itu. ”Saya tahu persis kemampuan Mbak Dwi. Dia itu mampu membidik figur berlatar etnik dengan bagus,” ungkapnya.
”Apalagi tingkeban adalah prosesi yang identik dengan kaum perempuan. Biasanya yang diundang juga hanya perempuan. Maka fotografer perempuan dirasa lebih cocok. Karena dapat lebih menghayati,” lanjut Swan, menambahkan.
Begitu semangatnya, Swan sendirilah yang mengatur tata visual dan nuansa artistika dalam bidikan foto. Turut menghitung arah cahaya, latar, efek foto dan nuansa etniknya.
Senyum Hanamunti Rambu yang didampingi suaminya. Sebentar lagi mereka menimang anak pertama mereka. (Dwi Susi Budiar untuk Harian Disway)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: