Digitalisasi Bikin Ponpes Tak Termarginalisasi
Ribuan pondok pesantren (ponpes) berdiri di Jawa Timur. Tentu, jumlah itu ditunjang dengan tenaga pengajar (asatidz dan asatidzah) yang jumlahnya mencapai puluhan ribu orang. Sebanyak 80 persen dari jumlah itu sudah menerapkan digitalisasi dalam kurikulum pembelajaran. Kian modern.
TAK bisa dimungkiri, sebagian besar perubahan itu karena pandemi Covid-10. Pembelajaran pun harus dilaksanakan dengan online. Nmaun, ada juga ponpes yang bertransformasi jauh sebelum pandemi itu melanda.
Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama (Kemenag) Jawa Timur Husnul Maram mengatakan, sudah banyak pesantren yang mengikuti perkembangan teknologi. Kitab kuning saja sudah bisa dibaca secara digital.
Kitab kuning di pendidikan agama Islam merujuk pada kitab tradisional. Berisi pelajaran agama Islam (diraasah al-islamiyyah) yang diajarkan di pondok pesantren. Mulai fikih, akidah, akhlak, tata bahasa Arab (ilmu nahwu dan sharf), hadis, tafsir, ilmu Al-Qur’an, hingga ilmu sosial dan kemasyarakatan (muamalah).
”Digitalisasi lebih mempermudah pembelajaran. Jadi, satu laptop itu bisa berisi ribuan kitab kuning dan sebagainya. Sehingga bisa dengan mudah mengambil nilai-nilai yang ada di kitab kuning itu,” katanya kepada Harian Disway Rabu (20/10).
Perubahan itu sebuah keharusan. Sebab, fungsi pesantren tidak hanya sebagai lembaga pendidikan dan lembaga dakwah. Namun, juga sebagai lembaga sosial dalam pemberdayaan masyarakat. Untuk menciptakan agent of change di tengah peradaban.
Kenyataan itu dapat ditunjukkan melalui beberapa fakta. Misalnya, banyaknya alumnun pesantren yang mampu menjadi pionir atau pemimpin daerah di tanah air.
Padahal, dulu pondok pesantren dianggap sebagai lembaga yang termarginalkan. Namun, kini pesantren mampu menghadirkan kader untuk mengisi semua lini kehidupan dalam nuansa yang berbeda. Namun, dengan tetap mempertahankan nilai-nilai Islam.
Undang-Undang (UU) 18/2019 tentang Pesantren memberikan pesan tersendiri kepada stakeholder di bidang pendidikan tersebut. Menegaskan bahwa pesantren memiliki peran strategis di tengah sistem pendidikan nasional.
”Peran pesantren tidak terlepas dari hakikat dasarnya. Yaitu, mengembangkan masyarakat Islam yang mengarah kepada nilai-nilai normatif, edukatif, dan progresif,” ucapnya.
Secara historis, pesantren lahir sebagai perwujudan keinginan santri untuk menimba ilmu. Tentu kepada seseorang yang memiliki kedalaman ilmu agama dan secara ikhlas mau mengajarkan ilmu dan pengalamannya. Yakni, para kiai.
Awalnya, para santri belajar di surau, musala, atau masjid. Karena perkembangan santri yang sangat pesat, tidak hanya dari satu daerah, dibangunlah asrama santri. Setelah memenuhi arkanul ma’had, berdirilah lembaga pesantren.
Secara tipologi, kemudian pesantren terbagi menjadi bentuk salafiyah, asy’ariyah, dan kombinasi. Seiring dengan perkembangan pesantren yang sangat pesat, pemerintah memberikan layanan afirmasi, regulasi, dan rekognisi (pengenalan) terhadap pesantren.
Santri Pondok Pesantren Hidayatullah, Surabaya, mengaji di pendopo.
(Foto: Rizal Hanafi-Harian Disway)
Peraturan Pemerintah 55/2007 tentang Pendidikan Agama dan Keagamaan memberikan inspirasi munculnya beberapa peraturan lainnya. Seiring zaman, kini ada pesantren yang memiliki kurikulum dan jenjang pendidikan sesuai dengan pendidikan reguler pada umumnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: