Tatkala Eks Heiho Sumatera Membela Surabaya

Tatkala Eks Heiho Sumatera Membela Surabaya

Mereka melawan dengan senjata yang tersisa. Sebuah senapan mesin dan senapan manual. Tapi musuh menang jumlah dan senjata. 

Komunitas Roodebrug yang memerankan Prajurit Sriwijaya berkumpul.
(Foto: Rizal Hanafi-Harian Disway)

Ending teatrikal dengan durasi 30 menit itu sudah bisa ditebak. Sepertiga Pasukan Sriwidjaja gugur di Benteng Kedung Cowek dalam kondisi mengenaskan. 

Pasukan yang selamat mencoba mundur sebisanya. Jenazah ditinggal di medan pertempuran. Pasukan sekutu tak memberi ruang sama sekali. Kapal-kapal perang artileri Inggris terus memberondong ke arah benteng. 

Pada 27 November, sekutu akhirnya kembali menguasai dinding pertahanan yang dibangun Belanda pada 1900 itu.

Sekutu panen senjata. Dalam catatan yang tersimpan pada ISUM, 27 November, Public Record Office Ref. No. 172/6965 X5 1512 dituliskan bahwa Tentara Inggris mendapat 400 ton amunisi meriam yang belum sempat ditembakkan. 

Senjata itu lalu mereka gunakan untuk menerobos pertahanan Surabaya. Sehari setelah pertempuran di Kedung Cowek, Inggris berhasil merangsek sampai jauh ke selatan.

Pertempuran Gunungsari meledak pada 28 November. Inilah pertempuran yang selalu dikenang keluarga besar Prajurit Tentara Republik Indonesia Pelajar (TRIP). Lima prajurit pelajar tewas terkena hantaman tank. 

Pendiri Roodebrug Ady Setyawan masih sedih melihat kondisi Kedung Cowek sekarang. Pemkot sudah menetapkannya sebagai gedung cagar budaya melalui SK Wali Kota 31 Oktober 2019. Status cagar budayanya secara resmi diumumkan pada 6 Mei 2020. “Setelah cagar budaya berhasil ditetapkan, tindak lanjutnya ternyata tidak ada,” ujar penulis buku Benteng-Benteng Surabaya itu.

Benteng seluas 7,1 hektare itu justru semakin lama semakin mengkhawatirkan kondisinya. Terjadi kerusakan di mana-mana. 

Vandalisme juga bertambah setiap tahun. Sampah, bekas minuman beralkohol, hingga kondom ditemukan di sana. Karena tidak dilestarikan, benteng itu jadi markas kemaksiatan.

Ady juga melihat bagian atap menara pantau di sisi barat yang ambrol. Maklum, benteng yang berusia satu abad lebih itu tak pernah mendapat sentuhan perbaikan. “Kalau tidak ada upaya dari pemerintah, tunggu saja kerusakan berikutnya,” jelas alumnus Teknik Sipil Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) Surabaya itu. (Salman Muhiddin)

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: