Janjikan Teatrikal Tahun Depan Lebih Besar

Janjikan Teatrikal Tahun Depan Lebih Besar

Sebelas tahun yang lalu, Roodebrug hanyalah komunitas kecil berisi anak-anak muda pencinta sejarah Surabaya. Semua bermula dari tur kecil di kawasan kota lama. Seiring waktu, mereka menjelma menjadi komunitas yang sangat berpengaruh di Kota Pahlawan. Tanpa perjuangan Roodebrug, Benteng Kedung Cowek hanya jadi onggokan batu dan beton di pinggir pantai. 

PAGI itu (14/11), Satrio Sudarsono sudah berpakaian bak pejuang. Pakai kemeja cokelat muda dengan peci hitam. Lengan panjangnya agak dilipat ke atas.

Tas selempang berbahan blacu diletakkan di bagian depan. Di pinggang sebelah kanan, ada tas kulit yang menempel di sabuk. Ia sudah siap memimpin 30 prajurit yang berdiri di hadapannya.

Pasukan menenteng senjata laras panjang. Satrio yang menjadi koordinator justru bertangan kosong. Tanpa senjata. “Aku enggak ikut main,” kata pria 37 tahun itu.

Satrio adalah sang sutradara pertunjukan teatrikal Roodebrug. Ia yang bekerja paling keras untuk menyiapkan pertunjukan itu. Semua disiapkan selama dua pekan. Mulai merangkai kisah, membuat naskah drama, mengatur efek suara, hingga memilih pemeran.

Pemainnya cuma latihan dua kali. Itu pun sudah termasuk satu kali geladi bersih. Meski persiapan sangat minim, pertunjukan itu berhasil memukau rombongan Surabaya Urban Track yang didampingi Komunitas Begandring Soerabaia.

Meski mayoritas pemainnya bukan orang teater, Satrio tidak kesulitan mengatur mereka. Semua pecinta sejarah itu sudah paham alur kisah Pertempuran Perang Sriwidjaja dengan Pasukan Inggris di Kedung Cowek. Para pemainnya juga sering mengikuti drama kolosal yang digelar dalam peringatan kemerdekaan atau Hari Pahlawan 10 November.

Soal kostum bukan jadi masalah. Hampir semua anggota Roodebrug punya koleksi seragam dan atribut perang sendiri. Mereka juga punya senapan larang panjang, hingga senapan mesin berat atau browning yang biasa dipakai untuk pertunjukan. 

Yang menjadi bahan evaluasi teatrikal pertama di Kedung Cowek itu adalah sound system. Suara ledakan dan efek perang lainnya tidak terdengar nyaring karena mereka hanya memakai speaker portable kecil. “Tahun depan harus lebih matang,” kata dosen Universitas Muhammadiyah Surabaya itu.

Nantinya, drama teatrikal tidak hanya digelar di Hari Pahlawan. Komunitas Roodebrug siap menggelarnya di HUT RI, atau peringatan bersejarah lainnya di Surabaya.

Akan ada penambahan alur cerita. Kisah pertempuran di Kedung Cowek bisa dikaitkan dengan kedatangan kapal-kapal Sekutu di Tanjung Perak. “Ultimatum 9 November dan pecahnya pertempuran 10 November juga akan kami masukkan,” lanjut alumnus Universitas Airlangga (Unair) itu. 

Konsekuensinya pemain harus ditambah. Bisa sampai 40-50 orang yang terlibat. Itu bukan masalah besar. Roodebrug masih punya banyak anggota untuk diajak tampil.

Penonton yang diajak juga bisa ditambah. Sebanyak 40 orang dari total rombongan yang hadir pada pertunjukan 14 November lalu adalah wisatawan. Mereka adalah rombongan Surabaya Sub Track yang didampingi Komunitas Begandring Soerabaia.

Begandring dan Roodebrug sudah jadi saudara kandung. Mereka sering bekerja sama dalam urusan pelestarian sejarah Surabaya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: