Review West Side Story, Visual Luar Biasa, Naskah Kurang Powerful

Review West Side Story, Visual Luar Biasa, Naskah Kurang Powerful

Adaptasi Broadway klasik yang sangat disukai, West Side Story, di tangan sineas yang sangat dihormati: Speven Spielberg. Versi adaptasi sebelumnya, yang tayang pada 1961, disebut-sebut sebagai film musikal terhebat sepanjang sejarah, memenangkan 10 piala Oscar. Kenapa versi baru milik Spielberg ini kurang diterima?

 

PETINGGI Disney pusing bukan kepalang. Betul, West Side Story mendapat review menawan dari kritikus. Namun, angka box office tidak bisa bohong. Pada opening weekend, film yang dibuat dengan bujet USD 100 juta (Rp 1,4 triliun) itu hanya menghasilkan USD 10,5 juta pada akhir pekan pertama pemutaran. Alias Rp 150,4 miliar. Hanya sepersepuluhnya.

Bahkan, pendapatan itu lebih rendah daripada In The Heights. Sesama adaptasi teater, yang dibuat oleh Lin-Manuel Miranda. Film yang mengisahkan kelompok imigran Republik Dominika di Washington Heights itu saja menuai USD 11,5 juta (Rp 106,5 miliar) pada opening weekend. Apa yang salah? 

Tidak ada yang salah dengan West Side Story karya Spielberg. Ia memperlakukan karya Jerome Robbins, Leonard Bernstein, dan Stephen Sondheim tersebut dengan penuh hormat. Semua kritikus pasti punya pendapat sama. Bahwa film ini true to the original. Setia pada versi aslinya. Dan disajikan dalam kemasan lebih grande dan mewah.

Semua yang ada di layar diciptakan untuk memanjakan mata. Desain setnya yang begitu detail, warna-warnanya, kostumnya—terutama yang dikenakan gadis-gadis Puerto Riko itu—koreografi dan nyanyiannya, tidak ada kata lain. Top notch.  

Sinematografinya juara. Setiap pergerakan kameranya sukses menangkap fitur terbaik dari adegan. Semua diset untuk menghadirkan pengalaman sinematik yang luar biasa. Dari segi visual—dengan bantuan teknologi yang lebih terkini, tetunya—karya Spielberg jelas jauh melampaui versi 1961. Ia bahkan bisa dibilang mendekati versi Broadway-nya.

Oh ya, akting para pemeran pendukungnya juga superkeren. Mulai dari Ariana DeBose (Anita),  David Alvarez (Bernardo), Mike Faist (Riff), hingga Rita Moreno (Valentina). Maklum, kebanyakan merupakan bintang Broadway. Sedangkan Moreno adalah pemeran Anita dalam versi 1961. Dia diberi peran baru. Yang tidak ada di versi orisinal. Tapi penambahan karakter baru itu cukup berhasil.

TONY & MARIA versi milenial, diperankan Ansel Elgort dan Rachel Zegler.

Minus Kekuatan Penggerak

Oke, oke. Cukup pujiannya. Jika West Side Story karya Spielberg memang sebagus itu, mengapa box office-nya begitu rendah? Memang, faktor yang menentukan perolehan box office. Namun Venom: Let There Be Carnage dan No Time to Die sudah membuktikan. Situasi pandemi sekalipun tetap menarik orang untuk pergi ke bioskop. Asal filmnya bagus.    

Nah, katanya West Side Story bagus? Betul. Secara visual, film ini begitu menggetarkan. Adaptasi musical numbers-nya, mulai dari La Borinquena, Jets Song, sekuen dansa di gym, hingga America (America yang dibawakan Anita DeBose paling keren!) sungguh memanjakan mata. Balcony Scene (Tonight), yang mungkin paling familiar di telinga penggemar serial Glee, juga dieksekusi dengan sangat apik. 

Namun, selain visual yang megah, tidak ada lagi yang bisa menggerakkan penonton untuk ke bioskop. Ceritanya—yang terinspirasi dari Romeo and Juliet karya William Shakespeare—sungguh tidak menarik untuk anak muda. Cheesy banget. Terlalu simpel dan sangat klise. Terlalu banyak hal bodoh dan tidak rasional.

Soal cerita, Spielberg sama sekali tidak tertarik untuk membuatnya sedikit lebih modern. Atau mungkin memang tidak bisa. Jadi dibiarkan saja West Side Story mengalir apa adanya. Seperti versi orisinalnya. Yang mungkin di era 1960an, plot semacam itu masih sophisticated banget.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: