Ada Doa dan Harapan di Balik Sajian

Ada Doa dan Harapan di Balik Sajian

Dalam mengungkap doa dan harapan, masyarakat Tionghoa mewujudkannya dalam bentuk apa pun. Tak hanya berdoa pada umumnya, bahkan dengan makanan pun tersimpan makna tentang doa. Seperti halnya ronde atau tangyuan.

BOLA-BOLA kecil dalam mangkuk berkuah. Bau jahenya sangat terasa. Manis dan pedas. Ada beberapa bagian ronde yang terdapat topping kacang tanah. Tapi, ada juga yang tidak. Dua-duanya punya makna bagi masyarakat Tionghoa. Tak hanya sebagai sajian.

Dalam persembahyangan Tangcik, ronde dengan kuah merah ditata melingkar, memutari ronde berkuah putih yang ada di tengah. Masing-masing berjumlah enam buah. Jadi, totalnya dua belas buah. Penataan tersebut mirip dengan tata letak bubur merah putih dalam tradisi Jawa. Apakah tradisi Jawa terkait bubur merah putih mengadaptasi dari budaya Tionghoa?

”Wah, kalau itu, saya tidak tahu. Tapi memang mirip. Tugas sejarawan yang meneliti dan menjawabnya,” ujar WenShi Liem Tiong Yang, pemuka agama Konghucu yang juga budayawan asal Kota Surabaya.

Meski belum ada penelitian lebih lanjut, bisa saja terjadi bahwa kebudayaan lokal mengadaptasi kebudayaan luar atau mengalami akulturasi menjadi bentuk baru. Seperti halnya lontong Cap Go Meh yang merupakan khazanah kuliner perpaduan Tionghoa-Jawa.

Budaya Nusantara terdiri atas berbagai entitas budaya penyusunnya. Salah satunya adalah budaya Tionghoa. Namun, pada hakikatnya, ronde digunakan sebagai kuliner musim dingin untuk menghangatkan tubuh.

Kata ”ronde” berasal dari penyebutan orang Belanda terhadap minuman tersebut. Mereka melihat bahan berbentuk bulat, lantas menyebutnya rond. Karena bulatan-bulatan itu berjumlah banyak, sebutan rond menjadi jamak, yakni rondje. Lidah masyarakat Indonesia mengucapkannya ”ronde”.

Di Tiongkok ronde disebut dengan tangyuan. Setiap bagiannya memiliki filosofi atau makna masing-masing. ”Di dalam ronde pasti ada bahannya yang berbentuk bulat-bulat,” ungkap rohaniwan 58 tahun itu. Bahan tersebut dibuat dari tepung ketan dengan dipilin hingga membentuk bulatan-bulatan.

Makna, dari bulatan-bulatan itu ialah hubungan antar sesama. ”Lengket seperti adonannya. Harapannya, hubungan sosial sesama manusia dapat senantiasa terjalin dengan erat,” ungkapnya.

Dua bulatan tersebut memiliki warna merah dan putih. Sebagai simbol keseimbangan atau keharmonisan dalam hidup. ”Seperti simbol yin-yang. Semesta ini harus berjalan dengan baik dan harmonis,” ujar ayah lima anak itu.

Kuah ronde yang manis dan mampu menghangatkan tubuh bermakna kehidupan senantiasa berbuah manis atau hal-hal baik serta secara manfaat dapat mengusir hawa dingin.

Dalam sajian ronde biasanya terdapat topping kacang. Tapi, ada pula yang tidak menggunakan topping tersebut. Kacang adalah biji, bermakna sebagai pertumbuhan. Dengan harapan, segalanya dapat bertumbuh, menghasilkan sesuatu yang baik sepanjang tahun.

Namun, tangyuan di Tiongkok berbeda dengan tangyuan atau ronde di Indonesia. Jika di Tiongkok, kuahnya terbuat dari bahan pemanis atau kuah manis, bisa juga dibuat dari kaldu daging. Namun, di Indonesia, kuahnya terbuat dari bahan jahe dan gula.

Awal mula persembahyangan Dongzi memang dilakukan ketika puncak musim dingin, sebagai ungkapan syukur atas karunia Tuhan. Para penganut Konghucu juga memperingatinya sebagai langkah awal Nabi Kong Zi untuk hijrah ke banyak negara demi menyebarkan ajarannya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: