Latih Musik demi Sesuap Nasi

Latih Musik demi Sesuap Nasi

Santoso terlahir dari keluarga seni. Hingga kini, ia hidup dari berkesenian. Tetapi tidak hanya lewat wayang potehi.

BERBAJU merah, bermasker hitam, Santoso tampak tidak menonjol di antara lima personel kelompok wayang potehi Fu He An, Sabtu malam (12/2). Hari itu, mereka tampil di Kowloon, Surabaya. Memeriahkan perayaan Imlek Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia (PSMTI).

Formasi Fu He An, kelompok yang dibina Toni Harsono, di acara itu cukup istimewa. Hampir semuanya dalang. ’’Ini orang-orang top,’’ kata Toni kepada Harian Disway di sela-sela acara itu.

Yang mendalang adalah Sudarto alias Keke (Baca:Awalnya Tukang Beli Minuman). Yang menjadi asisten (jiju) adalah Widodo Santoso, seorang dalang yang juga beken. Lalu ada Soni Frans Asmara yang memainkan yan qing (alat musik berdawai yang dipukul dengan bilah bambu). Soni juga seorang dalang.

Santoso alias Liem Giok Sam nyempil di bagian belakang. Ia kebagian mengatur ritme lagu dengan memegang gong kecil. Anggota Fu He An menyebut instrumen itu sebagai siao lo. Dalam bahasa Mandarin, gong kecil itu adalah xiaoluo (小锣). Santoso pun seorang dalang berpengalaman.

Bersama mereka, ada juga Leo Agustinus, pemuda gempal berusia 30 tahun. Ia memegang gendang kecil dan alat klothekan (ketuk) dari dua bilah kayu yang disebut piat kau.

Dengan personel yang sudah makan asam-garam panggung potehi itu, penampilan Fu He An terasa rapi. Musiknya elok. Cocok mengiringi lakon Sampek-Engtay yang mereka pentaskan malam itu. Di akhir pertunjukan, penonton bertepuk tangan. Di sela-sela penampilan, satu-dua orang maju ke depan panggung, mengulurkan amplop merah. Angpau. 紅包

Rehat pertunjukan pun tiba. Santoso dan para personel lainnya meninggalkan panggung, keluar dari ruangan. Mereka berkumpul di luar. Mengobrol.

Saat itulah Santoso bercerita tentang kehidupannya sebagai dalang wayang potehi. Kehidupan yang sangat dekat dengan darah seni yang mengaliri tubuhnya.

’’Bapak saya pemain wayang orang. Ibu saya penyanyi,’’ kata pria kelahiran 16 Oktober 1960 tersebut. Ayah Santoso bernama Liem Peng Lam alias Setyo. Orang Tionghoa. Sedangkan Suparmi, ibunya, Jawa tulen.

Lahir di keluarga seniman, Santoso pun menguasai aneka keterampilan seni. Tidak hanya sebagai dalang, tetapi juga pemain musik. Utamanya, instrumen Tiongkok.

’’Saya ini pelatih musik. Ya untuk golek upo (mencari sebutir nasi, Red),’’ ucapnya. Sampai sekarang, Santoso menjadi guru privat di Tulungagung, tempat tinggalnya. Ia mendatangi satu per satu muridnya yang ingin belajar memainkan er hu (alat musik gesek dengan dua dawai) atau gu zheng (alat musik petik).

Kenapa kok masih golek upo lewat mengajar musik? Apakah menjadi dalang wayang potehi tidak bisa dijadikan satu-satunya sandaran hidup?

Santoso tersenyum. Penuh makna. Bahwa penghasilan dari wayang potehi memang tidak bisa untuk mengepulkan asap dapur secara rutin.

Ia memang biasa tampil di TITD Tjoe Tik Kiong, Tulungagung, kalau ada pentas potehi. Ia juga kerap dipanggil membantu kelompok Fu He An yang bermarkas di Gudo. Tetapi, kalau tidak ada job, Santoso dan para kru lain tidak bisa mendapatkan honor dari bermain. Alhasil, mereka pun harus melakukan apa pun agar periuk nasi tetap hangat.

GONG KECIL yang dimainkan Santoso (tengah) bersama kelompok Fu He An. Leo Agustinus (kiri) memegang gendang dan Widodo Santoso (kanan) menjadi asisten dalang.
(Foto: Boy Slamet-Harian Disway)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: