Borobudur, Mitos Stupa, dan Tugas Menteri

Borobudur, Mitos Stupa, dan Tugas Menteri

-Ilustrasi: Reza Alfian Maulana-Harian Disway-

SALAH satu atraksi yang hampir selalu dilakukan para pengunjung Candi Borobudur adalah merogoh stupa berbentuk kurungan batu berlubang untuk menyentuh patung Buddha yang ada di dalamnya.

Entah dari mana asal-usul munculnya mitos yang mengatakan siapa saja yang bisa menyentuh tangan atau kaki patung itu akan memperoleh berkah dan keajaiban.

Stupa-stupa itu ada di bangunan paling atas candi. Lingkar stupa yang diameternya sekitar 5 sampai 6 meter membuat tangan manusia rata-rata tidak mampu menjangkau patung batu di dalamnya. Namun, namanya juga mitos, banyak yang percaya dan kemudian mencoba.

Praktik semacam itu juga dipercaya sebagian pengunjung Candi Borobudur. Sebelum merogohkan tangan ke dalam stupa, mereka ”make a wish”. Kemudian, merogohkan tangannya ke dalam stupa. Kalau berhasil menyentuh patung sang Buddha, wajah akan berbinar-binar karena percaya harapannya akan terkabul.

Biasanya, seorang laki-laki harus menyentuh bagian tangan patung, dan perempuan harus menyentuh bagian kaki patung. Diameter stupa yang lebar itu sebenarnya tidak memungkinkan tangan rata-rata manusia Indonesia untuk menyentuhnya. Tapi, hal itulah yang justru membuat kepo dan penasaran dan memaksa banyak orang mencoba.

Praktik itu meluas karena pengunjung mendapatkan informasi dari mulut ke mulut. Biasanya para penjual suvenir yang jumlahnya ratusan di situs itu memberikan informasi tersebut kepada pengunjung sebagai bagian dari marketing. Para pemandu wisata amatir maupun profesional juga hampir selalu menyampaikan mitos itu kepada kliennya.

Ternyata praktik yang dilakukan atas dasar iseng itu sekarang dituding menjadi salah satu penyebab kerusakan patung-patung di kompleks candi Borobudur. Tangan manusia yang berkeringat akan bersenyawa dengan patung batu dan menyebabkan munculnya penyakit jamur yang bisa merusak patung.

Beberapa hari terakhir ini Candi Borobudur menjadi perbincangan nasional di jagat media sosial maupun media konvensional karena kenaikan harga tiket yang fantastis. Dari harga awal Rp 50 ribu sekarang naik menjadi Rp 750 ribu. Untuk turis asing, harga tiket dipatok USD 100 (sekitar Rp 1,5 juta).

Kontan, kebijakan itu menimbulkan heboh nasional. Muncul berbagai komentar pro dan kontra. Yang pro mengatakan bahwa kebijakan pricing itu penting untuk menjaga kelesetarian Candi Borobudur. Yang kontra menganggap kebijakan pricing tersebut diskriminatif dan akan menjadikan wisata Borobudur sebagai wisata elite yang hanya bisa terjangkau oleh orang-orang berada.

Tiket seharga itu tentu bukan harga yang terjangkau. Kalau diasumsikan bahwa pelancong ke Borobudur datang bersama pasangan dan dua anak, mereka harus merogoh kocek sampai Rp 3 juta. Kalau dibandingkan dengan rata-rata upah minimum nasional, angka itu sudah menyentuh sebulan gaji.

Tapi, para pendukung gagasan kenaikan harga itu punya pendapat lain. Pembatasan pengunjung perlu dilakukan untuk menjaga kelestarian candi. Jumlah pengunjung yang tidak terkontrol disebut-sebut sebagai penyebab berbagai kerusakan yang bersifat vandalisme.

Praktik merogoh stupa juga disebut-sebut sebagai salah satu penyebab kerusakan. Untuk mengatasi problem itu, cara yang ditempuh adalah melakukan proteksi melalui kenaikan harga tiket yang fantastis tersebut. Jumlah pengunjung juga akan dibatasi sampai 1.200 orang saja setiap hari.

Yang berteriak paling keras mempermasalahkan kenaikan tiket itu adalah para pedagang asongan yang beroperasi di tempat wisata tersebut. Ribuan pengasong itu selama berpuluh tahun menggantungkan hidup kepada wisatawan asing dan lokal yang berkunjung ke candi. Mereka menjual berbagai suvenir. Mulai gantungan kunci sampai kaus oblong dan lukisan.

Isu pelestarian lingkungan bisa diatasi dengan manajemen pengelolaan dan pengawasan yang tertata. Vandalisme yang dilakukan dengan mencorat-coret dan menempelkan permen karet bisa diawasi melalui pemasangan CCTV di seluruh area candi.

Para pelaku vandalisme bisa dikenai hukuman atau denda berdasarkan peraturan daerah. Kalau terjadi pelanggaran vandalisme, pelaku bisa ditangkap dan diadili serta divonis on the spot.

Masih banyak alteratif lain yang bisa diambil untuk memastikan kelestarian Candi Borobudur. Mengedukasi pengunjung akan pentingnya warisan budaya candi juga bisa dilakukan para tour guide.

Sebelum masuk ke kompleks candi, para pengunjung juga bisa dideteksi melalui peralatan detektor untuk mencegah mereka membawa benda-benda yang merusak, termasuk permen karet. Kalau permen karet disebut sebagai salah satu penyebab vandalisme yang paling umum, penjualannya harus dilarang di lingkungan kompleks candi.

Isu itu tidak menjadi sekadar isu budaya, tapi sudah menjadi isu politik. Pasalnya, Menteri Luhut Binsar Pandjaitan disebut berada di balik keputusan tersebut. Luhut pun kembali menjadi sasaran hujatan karena masalah itu tidak berhubungan langsung dengan portofolionya sebagai menteri koordinator kemaritiman dan investasi.

Luhut pun kembali di-bully sebagai menteri segala urusan. Semua urusan investasi diurus Luhut. Semua urusan lain di luar investasi juga diurus Luhut, termasuk urusan minyak goreng. Saking luasnya urusan Luhut, sampai-sampai seorang guru besar kelautan ITS mengkritik Luhut sebagai menteri segala urusan. Satu-satunya yang tidak diurus Luhut adalah urusan kemaritiman yang seharusnya menjadi tugas pokoknya. (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: