Amerika Serikat Alami Inflasi Tertinggi, Ekonomi Global Terancam

Amerika Serikat Alami Inflasi Tertinggi, Ekonomi Global Terancam

-Ilustrasi: Reza Alfian Maulana-Harian Disway-

PERANG berkepanjangan Rusia-Ukraina berdampak serius pada ekonomi global. Harga komoditas, terutama energi, melonjak. Harga minyak mentah brent maupun WTI berada di kisaran USD 120 per barel.

Begitu juga harga batu bara, berada di level yang sangat tinggi, lebih dari USD 400 per ton. Itu juga diikuti kenaikan harga-harga komoditas lain seperti emas, perak, besi, dan sebagainya. Harga emas kini bertengger di USD 1.870-an per troy ounce.

Kenaikan harga-harga komoditas itu pun berdampak serius pada inflasi di berbagai kawasan. Amerika Serikat (AS), misalnya, Mei lalu mengalami inflasi tertinggi sejak Desember 1981, yaitu 8,6 persen. Itu menjadi rekor baru setelah Maret lalu menembus 8,5 persen dan April 8,3 persen.

Eropa mengalami hal serupa. Inflasi di Inggris mencapai 9 persen, Uni Eropa 8,1 persen dan Jerman 7,9 persen. Di beberapa negara, terjadi inflasi hebat. Kenaikan harga agregat di Turki mencapai 73,5 persen, Argentina 58 persen, dan Rusia 17,8 persen. Itu juga disusul Brasil, Tiongkok, Jepang, dan banyak negara lain. Tak terkecuali Indonesia yang Mei lalu mencapai inflasi tertinggi sejak pandemi.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, tingkat inflasi tahunan Indonesia pada Mei 2022 mencapai 3,55 persen (year-on-year/yoy) dengan indeks harga konsumen (IHK) sebesar 110,42. Inflasi tahunan itu menjadi rekor tertinggi sejak awal pandemi Maret 2020. Menurut BPS, inflasi Mei terjadi karena kenaikan harga pada hampir seluruh kelompok pengeluaran. Tingkat inflasi tertinggi berasal dari kelompok makanan, minuman, dan tembakau sebesar 5,62 persen

Di Jatim, inflasi year-on-year sudah mencapai 4,24 persen. Sementara itu, inflasi year-to-date (JanuariMei) telah mencapai 2,79 persen. Artinya, ruang gerak inflasi tahun ini tinggal 1,21 persen. Inflasi di Jatim ditargetkan berada di angka 3 persen plus-minus 1. Artinya, target inflasi maksimal ada di 4 persen.

Ancaman inflasi tampaknya masih akan berlanjut. Sebab, belum ada tanda-tanda ketegangan di Ukraina segera berakhir. Harga minyak masih memiliki ruang gerak kenaikan meski OPEC dan Arab Saudi sudah berkomitmen menaikkan produksinya. Minyak bisa mendekati harga tertingginya dalam sejarah, USD 147 per barel.

Dampak inflasi global berkepanjangan, terutama AS, bisa cukup serius bagi Indonesia. Inflasi tinggi AS pasti akan direspons dengan kenaikan suku bunga. Mei lalu The Fed sudah menaikkan tingkat bunga 50 bps ke angka 0,75 persen. Itu angka yang cukup tinggi setelah cukup lama berada di level nol persen.

Kenaikan tingkat bunga di AS bakal direspons pasar keuangan. Hot money di pasar keuangan dan pasar modal Indonesia bisa sewaktu-waktu ditarik dan kembali ke AS. Jika itu terjadi, akan ada tekanan pada pasar. Termasuk rupiah. Keuntungan kita dari adanya capital inflow dari ekspor komoditas bisa tergerus capital flight ke pasar AS.

Indonesia memang memiliki ketergantungan yang cukup tinggi dengan AS. Itu membuat posisi Indonesia terhadap AS selalu tidak mudah. Kondisi ekonomi AS termasuk inflasi bisa berdampak serius pada pasar barang dan pasar uang.

Inflasi yang tinggi di AS akan membuat daya beli masyarakat turun. Itu mengakibatkan permintaan terhadap barang impor, termasuk dari Indonesia, akan menurun. Akibatnya bagi Indonesia, ekspor turun dan devisa turun. Itu akan menekan rupiah.

Rupiah juga bisa mendapat tekanan lain. Capital outflow ke AS dilakukan dengan menjual asset financial di pasar uang dan modal. Pasar modal akan tertekan dan indeks akan jatuh. Investor pun akan mengonversi modalnya ke dolar AS sehingga juga akan menekan rupiah. Dampak lanjutannya adalah  pertumbuhan ekonomi akan melambat.

Dampak seperti itu tentu tidak serta-merta. Sebab, kontrak-kontrak ekspor sudah dilakukan jauh hari. Tak mungkin langsung dibatalkan. Tapi, dalam jangka menengah, permintaan barang dari AS akan makin berkurang. Pada saatnya nanti, dampak buruk inflasi dan ekonomi AS bakal benar-benar terasa bagi Indonesia.

Dampak itu akan makin parah jika permintaan ekspor akhirnya juga menurunkan harga-harga komoditas yang selama ini menjadi penyelamat ekonomi Indonesia. (*)

 

*) Dosen fakultas ekonomi dan bisnis,  Wakil Dekan Sekolah Teknologi Maju dan Multidisiplin Universitas Airlangga

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: