Travel Notes Kirana Kejora dari Bena Seri 2: Menangkap Simbol Ngadhu dan Bhaga

Travel Notes Kirana Kejora dari Bena Seri 2: Menangkap Simbol Ngadhu dan Bhaga

Wanita penerima tamu mengalungkan selendang tenun kecil ke leher saya sambil mengucapkan kalimat sambutan yang ramah.--

Ternyata selendang itu tanda pengenal para pengunjung Bena. Lalu kami permisi untuk berjalan sendiri memasuki kampung yang sangat bersih dan tertata rapi yang menawarkan ketenangan batin.

Saya diajak keliling ruangan untuk melihat beberapa foto yang terpajang di dinding kayu. Sementara Sau yang sudah sering ke Bena menunggu saya di luar. 


Beberapa anak kampung berusia sekitar 7-10 tahun bermain sepak bola di lapangan bawah, tempat saya berjalan sebelum naik ke halaman kampung.--

Usai melihat-lihat beberapa foto dan poster Bena, saya diminta mengisi buku tamu. Sau membayar uang tiket masuk sebesar Rp20 ribu per orang per satu kali kunjungan.

Langkah kami memasuki kampung dengan rumah-rumah eksotis beratap rumbia, berkuda-kuda tinggi, berjejer rapi di sisi timur dan barat. Rumah adat itu seperti pagar alam berwarna cokelat muda yang sangat natural memagari kampung. 

Rumah Kampung Bena bernama Sao merupakan tempat yang berfungsi sebagai pusat informasi, komunikasi keluarga, kerabat, dan menerima tamu. 

Rumah dari garis keturunan laki-laki dinamakan sakabalo. Ciri-cirinya terdapat boneka kecil di atap. Sedangkan rumah dari garis keturunan perempuan dinamakan sakapu’u yang ditandai dengan miniatur rumah atapnya.

Ada 45 rumah dari 9 suku, yaitu suku Dizi, suku Dizi Azi, suku Wahto, suku Deru Lalulewa, suku Deru Solamae, suku Ngada, suku Khopa, dan suku Ago. Pembeda tempat tinggal antara satu suku dengan suku lainnya adalah adanya tingkat ketinggian tempat sebanyak 9 buah. 


Beberapa anak kampung berusia sekitar 7-10 tahun bermain sepak bola di lapangan bawah, tempat saya berjalan sebelum naik ke halaman kampung.--

Setiap satu suku berada dalam satu tingkat ketinggian tempat. Sementara itu, rumah suku Bena sendiri berada di tengah-tengah. Sebab suku Bena dianggap suku yang paling tua dan pendiri kampung. Karena hal itulah kampung mereka bernama Kampung Bena.

Masing-masing suku memiliki sepasang bagha dan ghadu atau saka puu dan saka lobo. Merupakan tempat pelaksanaan ibadah atau upacara adat bagi masing-masing suku.

Pada awalnya hanya ada satu klan di kampung ini yaitu Bena. Perkawinan dengan suku lain melahirkan klan-klan baru yang sekarang ini membentuk 9 suku, keseluruhan penduduk Kampung Bena.

Itu bisa terjadi karena penduduk Bena menganut sistem kekerabatan matriarkat yaitu mengikuti garis keturunan pihak ibu. Lelaki Bena yang menikah dengan wanita suku lain akan menjadi bagian dari klan istrinya.

Saat kami mau memasuki halaman depan kampung, saya melihat dua tangga batu di tengah susunan batu berundak berukuran sekitar 2 meter. Dipakai sebagai pembatas halaman kampung dengan halaman pintu gerbang.

Tampak beberapa anak kampung berusia sekitar 7-10 tahun bermain sepak bola di lapangan bawah, tempat kami berjalan sebelum naik ke halaman kampung. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: