Besok, Tuntutan untuk Pendiri Sekolah Selamat Pagi Indonesia: Julianto Harus Dihukum Mati

Besok, Tuntutan untuk Pendiri Sekolah Selamat Pagi Indonesia: Julianto Harus Dihukum Mati

Negosiasi antara petugas Kejaksaan Tinggi Jatim dengan pengacara saat tersangka hendak diamankan.-Dok Harian Disway-

BATU, HARIAN DISWAY- Julianto Eka Putra akan menjalani sidang tuntutan pada Rabu, 20 Juli 2022. Persidangan itu dilakukan secara tertutup di Pengadilan Negeri (PN) Malang. Pemilik sekolah Selamat Pagi Indonesia (SPI) itu tersandung kasus pencabulan kepada peserta didiknya.

Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) Arist Merdeka Sirait memastikan diri akan hadir dalam persidangan tersebut. Bahkan, Arist menyatakan sekarang sudah berada di Malang. Pria asal Medan itu sampai di kota tersebut pukul 11.35 kemarin.

”Saya baru saja sampai ini di Malang. Saya pasti akan terus mengawal kasus ini,” katanya saat dihubungi Harian Disway, Senin, 18 Juli 2022. Tak hanya sidang tuntutan, Arist pun selalu hadir dalam setiap persidangan. Sidang itu sudah dilakukan 19 kali.

Mulai sidang pembacaan dakwaan sampai mendengarkan keterangan para saksi. Namun, ia merasa kecewa dengan jalannya persidangan tersebut. Sebab, selama persidangan berlangsung, Julianto tidak pernah ditahan. Ia juga bukan tahanan kota.

Sebab, terdakwa selalu pergi pulang Malang–Surabaya. ”Terdakwa itu kan rumahnya di Surabaya. Sementara, sidangnya di Malang. Setahu saya, kalau tahanan kota itu pasti gak akan ke luar kota. Artinya, terdakwa itu tidak pernah menjalani masa tahanan dong,” terangnya.

Kondisi tersebut, menurutnya, sangat tidak mencerminkan rasa keadilan untuk korban. Yakni, bertentangan dengan pasal yang disangkakan, yaitu Pasal 81 ayat 2 UU Perlindungan Anak juncto Pasal 64 ayat 1 KUHP.

”Itu sudah jelas, hukumannya di atas lima tahun penjara. Bahkan, menurut saya, itu bisa hukuman mati. Yurisprudensinya juga sudah ada di PN Bandung. Dengan kasus yang sama persis, jaksa memberikan tuntutan hukuman mati. Tapi, hakim hanya menghukum seumur hidup,” tegasnya.

”Namun, jaksa penuntut umum (JPU) dari Kejaksaan Bandung melakukan banding ke Pengadilan Tinggi (PT) Jawa Barat. Akhirnya, hakim di PT memberikan vonis yang sama dengan tuntutan jaksa. Harusnya sih JPU nanti mempertimbangkan itu juga,” tambahnya.

Bahkan, ia mendapat informasi bahwa sepanjang waktu persidangan, Julianto sering mengintimidasi korban dan keluarganya. Akibatnya, beberapa dari saksi korban itu memutuskan untuk mencabut laporan dan keterangan dalam berita acara pemeriksaan (BAP). ”Itu kan bagian dari menghilangkan alat bukti,” terangnya. 

Namun, kini Julianto sudah ditahan di Lapas Lowokwaru, Malang. Itu sedikit memberikan rasa keadilan buat para korban. ”Walau sudah sangat terlambat, kami ucapkan terima kasih sudah menahan terdakwa,” bebernya.

Namun, keadilan itu menurutnya belum penuh. Sampai pada putusan majelis hakim nanti. Itu juga didasarkan dari tuntutan yang diberikan JPU dari Kejaksaan Negeri (Kejari) Batu besok. ”Saya sih berharap tuntutan yang diberikan nanti adalah hukuman mati,” terangnya.

Walau, sebenarnya Kepala Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jatim Mia Amiati sempat menerangkan bahwa terdakwa tidak bisa diberi hukuman mati. Sebab, tindakan terdakwa terjadi sebelum UU 17/2016 disahkan.

Tapi, Arist menegaskan, aturan itu adalah perubahan atas UU 23/2002 tentang Perlindungan Anak. ”Artinya, sudah bisa dong itu dikenakan. Kenapa tidak bisa. Tapi, tuntutan belum dibacakan. Masih ada harapan jaksa akan memberikan tuntutan yang adil,” ucapnya.

Arist pun menegaskan bahwa persidangan itu saat ini bukan hanya dirinya yang mengawal. Melainkan, juga seluruh masyarakat Indonesia. Karena itu, jika jaksa memberikan tuntutan rendah, akan menjadi hal yang buruk untuk kejaksaan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: