Takeyama Kenichi, Konjen Jepang di Surabaya yang Hobi Naik Gunung (3)

Takeyama Kenichi, Konjen Jepang di Surabaya yang Hobi Naik Gunung (3)

Takeyama Kenichi membaca Harian Disway di kantornya.-Boy Slamet-Harian Disway-

Jika ditanya panorama dari puncak gunung apa yang paling indah? Takeyama Kenichi memilih puncak Surono. Dari ketinggian 3.432 mdpl Gunung Slamet itulah ia mengalami ketakjuban kembali. Malah memotivasinya mendaki lebih banyak gunung lagi.

 

MATCHA hangat di cangkir kami masih utuh. Belum diseruput sama sekali. Obrolan tetap mengalir asyik. Kami betah mendengar kisah Takeyama menjajaki gunung-gunung di Indonesia.

 

Begitu juga dengan Tsumura Moe yang duduk di samping Takeyama. Meski staf perempuan termuda di Konsulat Jenderal Jepang Surabaya itu telah berulangkali mendengar kisah yang sama.

 

“Tidak apa-apa ya? Bosan ya?” celetuk Takeyama di sela tuturnya sambil menepuk Tsumura. Sementara Tsumura pun menggelengkan kepala sambil meringis. Tanda bahwa dia masih ketagihan menyimak cerita atasannya itu. Bahkan masih tetap tertawa oleh cerita yang pernah didengarnyi itu.

 

Malam tahun baru 2018 menjadi malam terindah bagi Takeyama di Indonesia. Malam pergantian tahun disaksikan dari puncak Surono. Dingin dan sepi. Tapi justru gembira lantaran menepi dari ingar-bingar kesibukan kota. 

 

Itu semacam meditasi bagi Takeyama. Membuatnya lebih semangat menjalani tahun baru. Dan tentu pikirannya lebih jernih. “Lebih fresh, fisik saya makin fit setiap usai naik gunung,” kata lelaki yang di masa kecilnya menjadi atlet itu.


Takeyama Kenichi berpose memakai udeng khas Surabaya.-Boy Slamet-Harian Disway-

 

Takeyama tumbuh di Desa Gifu Prefecture, Jepang. Sebuah desa kecil di Kota Mizunami. Mungkin kota tersebut asing bagi yang tak pernah tinggal di Negeri Matahari Terbit itu.

 

Tapi, sebetulnya dekat dengan kota yang cukup populer: Nagoya. Bisa ditempuh dengan kendaraan selama satu jam. Jaraknya seperti Surabaya ke Malang.

 

Di sanalah, Takeyama dididik menjadi atlet. Bahkan bisa dibilang multitalenta lantaran ia fokus dua cabang olahraga sekaligus. Menjadi atlet lari maraton dan renang andalan Rikujo-Kyogi Club

 

“Saya pernah juara dua lari maraton,” ucap sarjana hukum Universitas Chuo itu lantas tertawa. Berenang pun tetap menjadi rutinitasnya saat bertugas di Kedutaan Besar Jepang, Jakarta. Hampir setiap satu minggu sekali ia berenang. Kolam renang langganannya di Hotel Borobudur.

 

Barangkali, olahraga rutin itu yang bikin fisik Takeyama masih prima. Meski usianya hampir menginjak 60 tahun, tapi bisa sukses melampaui jalur pendakian di lima gunung sepanjang 2017. Tanpa ada kendala fisik yang berarti. Di antaranya, Gunung Ijen, Banyuwangi; Gunung Kinabalu, Malaysia; Gunung Merbabu, Magelang; Gunung Merapi, Yogyakarta; dan Gunung Slamet, Purwokerto.

 

Maka, saat tahun baru 2018, Takeyama malah makin “menggila”. Mental dan kepercayaan dirinya untuk mendaki gunung semakin baik. Butuh waktu istirahat tak sampai satu bulan sejak pendakian terakhir ke Gunung Slamet pada malam tahun baru.

 

Takeyama mematok target sendiri. Satu bulan, satu gunung. Tentu ada standarnya. Yakni gunung dengan minimal ketinggian 3.000 mdpl.

 

Pada pertengahan Januari, ia berangkat seorang diri ke Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Menjajal pendakian Gunung Ceremai dengan ketinggian 3.078 mdpl. 

 

Berlanjut pada bulan-bulan berikutnya. Pada 10 Februari, sukses mendaki Gunung Arjuno, Jawa Timur, dengan ketinggian 3.339 mdpl. “Bulan berikutnya, Maret, saya ke Jawa Tengah lagi,” terangnya.

 

Pada 20 Maret, sukses mendaki ke Gunung Lawu. Gunung dengan ketinggian 3.265 mdpl itu terletak di perbatasan dua provinsi. Yakni Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah, dan Kabupaten Magetan, Jawa Timur. 

 

Kebiasaan maraton pun tetap dipertahankan. Begitu turun dari Gunung Lawu, Takeyama tak langsung balik ke Jakarta. Malah langsung mendaki Gunung Sumbing dengan ketinggian 3.371 mdpl. Ia melalui jalur pendakian di Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah.

 

Jadwal pendakiannya di April cukup padat. Awal bulan, ia mendaki ke Gunung Gede, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Tentu seorang diri dengan bantuan tour guide. Menjelang akhir bulan langsung berangkat ke Kabupaten Lumajang.

 

“Saya penasaran ke Gunung Semeru karena gunung tertinggi di Pulau Jawa,” jelas Takeyama. Butuh persiapan yang lebih matang. Fisik harus benar-benar prima. Mengingat puncak Mahameru, Gunung Semeru, berada di ketinggian nyaris 3.700 mdpl.

 

BACA JUGA: Marathon Pendakian Merbabu-Merapi

 

Jalur pendakiannya pun terkenal cukup berat. Rata-rata, para pendaki butuh waktu 4 hari 3 malam untuk menuntaskan pendakian Gunung Semeru. Hari pertama, butuh sekitar 4 jam untuk mencapai Ranu Kumbolo. Yakni sebuah danau di bawah kaki Semeru.

 

Biasanya, pendaki akan mendirikan tenda untuk menginap semalam di sana. Sambil mengisi hari dengan menikmati pemandangan danau yang diapit dua bukit kecil di ujungnya itu.  

 

Baru pada hari kedua lanjut berjalan ke Kalimati. Melalui Bukit Cinta, dan Oro-oro Ombo. Mendirikan tenda di pos terakhir itu. Menunggu hingga tengah malam kemudian bersiap Summit Attack. Alias menempuh jalur utama yang penuh pasir dan bebatuan menuju puncak Mahameru.  

 

Butuh 6 jam untuk mencapai puncak. Dari pukul 00.00 hingga pukul 06.00 pagi. Dan hari ketiga langsung balik ke Ranu Kumbolo untuk bermalam lagi. Lalu hari keempat baru balik ke pos utama di Ranu Pani.

 

Namun, track normal itu tak berlaku bagi Takeyama. Ia cukup menghabiskan waktu dua hari semalam. Bukan karena terlalu percaya diri. Melainkan karena diburu waktu cuti yang sempit. “Waktu libur saya pendek, jadi harus cepat,” katanya ditutup tawa.

 

Rupanya, panorama di sepanjang pendakian ke Gunung Semeru membuat Takeyama sangat puas. Satu bulan berikutnya, pada 27 Mei, ia lanjut ke Gunung Rinjani, Lombok, NTB. “Saya baru mendaki lagi pada Oktober ke Kilimanjaro di Afrika,” ungkapnya. (Mohamad Nur Khotib/bersambung)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: