Bus Kota Andalkan Penumpang dari Luar Kota
Kondektur Bus Kota menghitung penumpang saat berhenti di Jembatan Merah Plaza (JMP) Jalan Rajawali Surabaya-Julian Romadhon-
Kondisinya sudah jauh berbeda dengan sebelumnya. Dulu bus berhenti di beberapa titik, misalnya, di polda, RSI, atau Joyoboyo selama sekitar 10 menit. ”Sampai akhir tujuan jarang nambah penumpang,” kata Rudi Hartanto, sopir bus F14.
Bus Kota berhenti menunggu penumpang di Jembatan Merah Plaza (JMP) Jalan Rajawali Surabaya.-Julian Romadhon-
Diakui Rudi, pun rute sebaliknya, sering kosong. Dapat penumpang lima di jalan itu sudah rezeki nomplok. ”Sudah lumrah terjadi,” terangnya.
Bahkan, jika jumlah penumpang tak sampai 10 orang dari Purabaya, mereka akan dioper ke bus yang mengantre di belakang. Strategi itu diterapkan agar meminimalkan kerugian. Risikonya, penumpang akan menunggu lebih lama lagi sebelum bus tersebut berangkat.
”Apalagi pas pandemi, penumpang sepi banget. Saat ini juga masih sama. Belum normal,” keluh pria yang menjadi sopir bus kota sejak 1994 itu.
Kini bus kota makin tak berdaya di tengah persaingan ketat. Terutama dengan ojek online (ojol) dan Suroboyo Bus. ”Banyak ojol liar yang mangkal di terminal. Penumpang kalau gak mau itu dirayu. Dulu ada larangan dari dishub. Mereka tidak boleh mencari penumpang di dalam terminal. Kalau sekarang entah gimana,” ujar Rudi.
Ditambah lagi dengan keberadaan Suroboyo Bus dengan rute yang sama makin memperparah kondisi. ”Trans Semanggi gak seberapa ngefek soalnya lewat tol. Yang ngefek ini bus merah itu. Penumpang kita habis kan karena itu,” jelasnya.
Kini Rudi dan kawan-kawan bus kota lainnya hanya mengandalkan penumpang dari luar kota. Terutama mereka yang tak akrab dengan dunia digital. Misalnya, para pekerja pabrik hingga orang-orang yang mengunjungi kerabat di Kota Surabaya.
Misalnya, Jamilah, seorang ibu paruh baya yang duduk di sebelah Harian Disway. Dia mengandalkan bus kota ekonomi lantaran sistem pembayaran yang mudah dengan cara konvensional. ”Kalau bus yang bagus itu kan pakai internet,” ujar perempuan asal Madura tersebut sambil merapikan jilbabnyi yang tanpa kancing.
Begitu juga dengan Adi. Pria 40 tahun itu datang dari Malang. Ia punya alasan yang sama. Lokasi tujuan yang dapat diakses dengan berjalan kaki dari titik turun bus kota. Sebaliknya, jika menggunakan lin, ia harus naik dua kali dengan biaya yang lebih besar. ”Kalau Suroboyo Bus agak ribet. Bayarnya pakai aplikasi,” ujarnya.
Adi bukan tidak pernah naik Suroboyo Bus. Namun, saat sistem pembayaran masih melayani penukaran botol. Tapi, diakui, ongkos Suroboyo Bus lebih murah. (*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: