Kenangan tentang Maestro Ludruk Surabaya Cak Sapari; Dagelannya Dikangeni Tetangga Kampung

Kenangan tentang Maestro Ludruk Surabaya Cak Sapari; Dagelannya Dikangeni Tetangga Kampung

Cak Sapari almarhum (kiri() bersama Cak Kartolo.--

SURABAYA, HARIAN DISWAY - Maestro ludruk Cak Sapari meninggal kemarin dalam usia 80 tahun. Member grup Kartolo Cs itu meninggalkan kesedihan mendalam bagi insan seni Jawa Timur, khususnya Surabaya. 

Nama besar Cak Sapari tampak dari pelayat yang datang. Di antaranya Eri Cahyadi, Armudji, dan tokoh seniman seperti Kartolo, Djadi Galajapo. Di rumah duka, di Jalan Simomulyo Baru 3C/10 Surabaya itu mereka menyampaikan duka kepada sosok berperawakan tinggi, kulit cokelat gelap dengan udeng atau topi pet di kepala. 

Ciri khas postur dan pakaian Cak Sapari itu memang diingat semua orang. Termasuk bagaimana ekspresi Cak sapari yang datar. ”Tapi sekali ngomong nylekitnya bukan main,” ujar Robets Bayoned, pentolan grup ludruk The Luntas Indonesia. 

Buat Robets, Cak Sapari adalah maestro ludruk Surabaya. Ia memang sangat mengena dalam ingatan orang Surabaya khususnya pecinta ludruk. Tak hanya ia yang kehilangan.

Begitu dikabarkan meninggal pada 15 September 2022, pukul 4.30, Cak Kartolo melayat bersama istrinya, Kastini. Ia memberi dukungan kepada keluarga almarhum terutama istri dan lima anaknya. 
Suasana pemakaman Cak Sapari yang dipadati pelayat yang mengaguminya sebagai maestro ludruk dari Surabaya. Ada tetangga, kawan, seniman, hingga pejabat.

Raut wajah Cak Kartolo terlihat sayu. Sesekali matanya menengadah dan berkaca-kaca. Begitu pun Kastini. Kebersamaan mereka telah berlangsung sekian lama. Sejak bergabung dalam grup Sawunggaling bersama almarhum Basman dan Sokran. ”Oalah Cak Ri, peno wes gak loro maneh. Padhang dalane, jembar kubure,” bisik Kastini sembari melihat foto Cak Sapari di dinding rumah duka.

Kastini berujar bahwa Cak Sapari tak lagi merasakan sakit. Dia berdoa supaya terdapat penerang, menerangi jalan yang dilalui Sapari di alam barzah.

Sedari pagi hingga Cak Sapari dimakamkan di kompleks makam Dukuh Kupang pukul 9, para pelayat bejubel memenuhi kediamannya. Selain bertakziah, Robets ikut mengajak bicara pelayat yang datang.

Maklum ia termasuk yang setia menemani Cak Sapari sejak sakit hingga dirawat. Sambil bercerita, Robets tak mampu membendung air matanta. ”Saya mengenang Pakde Sapari sebagai sosok yang humble. Ramah. Humoris. Di mana pun, kapan pun selalu guyon. Tak pernah membeda-bedakan,” ujarnya.

Lexa Fairuz, salah satu tetangga dekat, ikut bersedih atas kepergian Cak Sapari. ”Bagi saya beliau adalah pengayom. Suka mengumpulkan anak-anak muda di rumah untuk mengajak berbincang. Sehari-hari almarhum selalu bertingkah lucu. Kami kehilangan pelawak kampung kami yang bersahaja,” ungkap perempuan 35 tahun itu.

Dia masih ingat tingkah-tingkah tetangganya itu yang mengundang gelak tawa. Pernah suatu kali sepulang salat Jumat, Sapari tiba-tiba berjongkok di hadapan pohon belimbing wuluh yang tumbuh di halaman rumah Lexa. 

Sembari memegang kerah baju, Cak Sapari berakting seperti kedinginan. ”Mbak, nyuwun belimbing wuluhe. Sakno mbak, gak tau masak jangan asem sing dicampuri belimbing wuluh,” ujarnya ketika itu. Maksudnya, ia hendak meminta sebuah-dua buah saja. Tapi dilakukan dengan berlebihan dan mengundang tawa.

Pernah pula tiba-tiba ia berpose di depan pagar rumah, mengenakan kacamata hitam, topi caping petani dan kaus oblong. ”Lalu anaknya, Dani, keluar rumah dan bilang, Pak, ini tongkatnya. Wah, benar-benar keluarga dagelan,” kenangnya, lalu. 

Saat itu Cak Sapari menyapa semua orang yang lewat dengan pekik merdeka. Tentu tetangga-tetangga sangat terhibur dengan kelucuan-kelucuan itu. Mereka pun merasa sangat kehilangan.

Sumber: