Bunga Tinggi

Bunga Tinggi

-Ilustrasi: Reza Alfian Maulana-Harian Disway-

REZIM bunga rendah tampaknya segera berakhir. Kenaikan harga  bahan bakar minyak (BBM) subsidi membuat Bank Indonesia (BI) sangat mengkhawatirkan inflasi. Reaksinya luar biasa. BI menaikkan tingkat bunga acuan, 7-days repo rate sebesar 50 basis poin. Dari 3,5 persen menjadi 4,25 persen. Deposit dan lending facility juga naik, masing-masing dari 3 persen ke 3,5% dan 4,5% menjadi 5%. 

Kenaikan ini menjadikan tingkat bunga acuan Indonesia makin tertinggal dari negeri-negeri jiran. Kamboja dan Thailand, misalnya, masih mempertahankan tingkat bunga rendah. Kurang dari 0,5%. Begitu juga Singapura dan Malaysia yang berada di level 2%-an dan  Laos di level 2,75%. Tingkat bunga acuan Filipina berada di level yang sama dengan Indonesia, 4,25%. Sementara tingkat bunga acuan di Vietnam, Brunei Darussalam, dan Myanmar lebih tinggi daripada Indonesia. 

Tingginya tingkat bunga acuan ini dalam waktu cepat akan segera diikuti dengan kenaikan tingkat bunga kredit. Ini karena perbankan, tentu, tidak mau berisiko mengalami negative spread. Dampak ini akan dirasakan para pengusaha dan masyarakat yang harus menanggung cost of fund yang tinggi. 

Biasanya, kalangan perbankan dengan cepat menyesuaikan tingkat bunga kredit ketika naik. Alasannya, kenaikan tingkat bunga diikuti kenaikan bunga penjaminan. Otomatis, biaya dana bagi perbankan juga naik, sehingga perbankan harus segera menyesuaikan agar tidak mengalami negative spread

Namun, kondisi berbeda dilakukan perbankan ketika tingkat bunga acuan turun. Perbankan seperti enggan menurunkan bunga kredit. Alasannya, ada gap yang tinggi antara sifat simpanan yang berjangka pendek dan kredit yang berjangka panjang. Untuk itu, perbankan perlu waktu untuk menyesuaikan. 

Kenaikan tingkat bunga acuan yang cukup tinggi ini tampaknya tak bisa dilepaskan dari kondisi di Amerika Serikat. Sebab, The Fed sebelumnya memang menaikkan tingkat bunga cukup tinggi. Ke level 3 hingga 3,5 persen. Bahkan, para ekonomi memprediksi Federal Reserve akan teruus menaikkan tingkat bunga hingga ke level 4,25 persen dalam waktu dekat. 

Langkah itu dilakukan The Fed untuk mengantisipasi tingkat inflasi yang cukup tinggi di AS. Terutama sebagai dampak dari perang Rusia-Ukraina yang menekan suplai minyak. Akibatnya, harga minyak mentah naik sangat tinggi dalam beberapa bulan ini sehingga harga BBM di AS pun naik sangat tinggi.

Inflasi memang menjadi ancaman bagi perekonomian. Tak terkecuali Indonesia. Inflasi merepresentasikan  kenaikan harga barang-barang yang berdampak pada menurunnya daya beli masyarakat. Penurunan daya beli mengakibatkan menurunnya permintaan yang bisa berdampak cukup serius terhadap perekonomian. Dampak lainnya adalah kemiskinan yang meningkat. Apalagi, peningkatan kemiskinan akibat pandemi Covid-19 belum benar-benar teratasi.

Kenaikan tingkat bunga ini sekaligus bakal melebarkan selisih bunga bersih antara rupiah dan dolar. Selama ini, selisih bunga bersih berkisar antara 2 hingga 3 persen. Namun, dengan kenaikan tingkat bunga The Fed, selisih bunga bersih menjadi sangat tipis yang bisa memicu capital outflow secara besar-besaran. Kenaikan tingkat bunga di AS sudah memicu pengalihan investasi portofolio. Indeks saham turun dan permintaan terhadap rupiah meningkat, Akibatnya, rupiah mengalami tekanan hingga menembus Rp 15 ribu per dolar AS.

Diperkirakan, tekanan inflasi di AS masih akan dirasakan hingga pertengahan 2022. Meskipun, AS melakukan berbagai upaya untuk menekan inflasi. Termasuk menaikkan tingkat bunga untuk mengurangi permintaan agregat di masyarakat. 

Ruang bagi The Fed untuk menaikkan kembali tingkat bunga di AS masih cukup lebar. Ini tak lepas dari inflasi di AS yang sangat tinggi. Juli lalu, inflasi year-on-year menembus 9,1 persen. Tertinggi dalam 40 tahun terakhir. Hingga bulan lalu, inflasi AS masih tetap berada di atas 8 persen, yang menandakan bahwa ruang kenaikan tingkat bunga di AS masih terbuka lebar. 

Amerika Serikat (AS) mencatat inflasi tahunan yang sangat tinggi sepanjang 2021 dan 2022. Tertinggi sejak Juni 1982. Pemicu utama inflasi tinggi ini adalah energi (33,3%). Ini tak lepas dari kenaikan harga minyak mentah yang cukup tinggi selama Desember dan sepanjang tahun. Selain itu, kurangnya tenaga kerja dan meningkatnya permintaan sebagai dampak pemulihan akibat Covid-19. 

Selain menaikkan tingkat bunga, kemungkinan The Fed akan mempercepat tapering off  nilai program pembelian asset (quantitative easing/QE) yang selama ini masih senilai USD 15 miliar per bulan. Dengan nilai QE USD 120 miliar, masih cukup waktu untuk mencapai QE nol dan The Fed menaikkan tingkat bunga. 

Meski begitu, jika The Fed mempercepat tapering hingga USD 30 miliar per bulan, maka QE akan menjadi nol hanya dalam waktu empat bulan ke depan. Karena itu, sangat mungkin The Fed akan menaikkan tingkat bunga dalam beberapa bulan ke depan yang akan berdampak pada pasar keuangan global. Termasuk pasar keuangan Indonesia. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: