Mijn Roots Mencari Orang Tua Kandung: Takut Gelap, Harus Tidur Menghadap Pintu (40)

Mijn Roots Mencari Orang Tua Kandung: Takut Gelap, Harus Tidur Menghadap Pintu (40)

Lukisan Sumi yang menggambarkan trauma dalam proses adopsinya di Belanda.-Sumi Kasiyo for Harian Disway-

Sumi Kasiyo dan Suyatmi perlu waktu bertahun-tahun untuk membiasakan diri dengan kehidupan baru di Belanda. Mereka yang berusia 6 dan 9 tahun itu harus ke sekolah tanpa mengerti sama sekali bahasa Belanda.

”Butuh waktu bertahun-tahun bagiku untuk belajar memindahkan ’persneling’. Tapi, aku ingin bahagia dan orang tua baru kami sangat manis dan merawat kami dengan baik. Aku ingin memberi mereka kesempatan dan diriku sendiri,” tulis Sumi di Facebook empat tahun lalu.

Bagai mobil, Sumi dan Suyatmi memang harus belajar memindahkan persneling dengan cepat. Ada banyak fase kehidupan yang harus dilewati. Terutama sekolah.

Dia dan sang kakak kandung Suyatmi tentu tak bisa langsung tancap gas. Mereka harus mempelajari bahasa baru sebelum memindahkan persneling itu.

Sumi harus masuk ke taman kanak-kanak. Sedangkan sang kakak masuk ke SD. Sumi berusaha keras membiasakan diri. ”I am a fast learner (Aku bisa belajar dengan cepat, Red),” ujar Sumi.

Dia jadi anak penurut dan belajar dengan keras. Sumi juga selalu berusaha mendengarkan orang tua angkatnyi sebaik-baiknya. 

Kendati begitu, kehidupan tak bisa semulus yang dibayangkan. Sumi sering melamun, menggambar, dan membuat sesuatu. Dia seperti memiliki dunia sendiri melalui menggambar.

With Singapore Airlines to Amsterdam. You asked me, when I start to draw? As you can see: at that moment (Dengan Singapore Airlines ke Amsterdam. Kamu bertanya, kapan aku mulai menggambar? Seperti yang kamu lihat: di momen itu, Red),” kata arsitek jebolan ArtEZ University of the Arts atau akademi seni di Belanda itu.

Ibu angkatnyi membelikan krayon dan buku gambar. Dengan begitu, selama perjalanan ke Belanda, mereka tak rewel di pesawat. 

Rupanya kegiatan menggambar itu keterusan sampai sekarang. Sumi punya banyak karya. Beberapa di antaranya digambar secara digital.


Sumi menggambar di pesawat Singapore Airline dalam perjalanan ke Belanda.-Sumi Kasiyo for Harian Disway-

Saat kecil, pikirannyi sering melayang-layang ke Indonesia. Sering menyendiri dan menangis. Bagaimana kabar ibu dan kakak-kakak di Trenggalek? Apa yang mereka pikirkan? Apakah mereka mencari Sumi dan Suyatmi? Bagaimana perasaan ibu? 

Di sisi lain, dia sering bertemu dengan orang-orang baru dari keluarga besar orang tua angkatnyi. Dia harus bersikap baik untuk membalas kasih sayang mereka. 

Sumi harus berusaha keras menelan fakta bahwa dirinyi adalah anak yang berbeda. Kulit dan rambut mereka tak sama. Begitu pula dengan warna iris mata. 

Dia sebenarnya sangat tak nyaman ketika rambut atau kulitnyi dipegang orang-orang yang tak dikenal. Mungkin mereka juga penasaran dengan sosok Sumi yang datang dari Indonesia. 

Semua keresahan itu menumpuk jadi trauma. Bahkan, trauma tersebut masih terasa sampai dewasa. Ketidakpastian, ketakutan, dan mimpi buruk telah menghantui hari-harinyi.

Sumi takut dengan kegelapan. Dia selalu harus tidur dengan wajah menghadap pintu dengan lampu menyala. Akan lebih tenang jika ada seseorang berbaring di sebelahnyi. 

Sumi selalu takut ada seseorang yang akan menyelinap ke dalam rumah di tengah malam dan membawanyi pergi untuk kali kedua. 


Karya Sumi yang menggambarkan bahwa ia dirawat oleh beberapa perempuan berbeda. Dari ibu, kakak kandung, hingga orang tua angkat di Belanda.-Sumi Kasiyo for Harian Disway-

Dia selalu teringat dengan momen saat sang ibu kandung diusir dari tempat penitipan anak. Sumi hanya bisa menangis sambil melihat peristiwa itu dari lubang kunci.

Bahkan, dia juga takut kehilangan orang tua angkatnyi yang sangat penyayang. Dia cemas saat sang ibu pergi bekerja atau harus menghadiri rapat. Perasaan trauma itu selalu muncul meski itu adalah rutinitas sang ibu.

Sumi harus menghadapi trauma tersebut dengan mengikuti beberapa terapi. 

Tentu ada saja yang bilang: Bersyukurlah bisa hidup di Belanda. Kalau menetap di Indonesia, kamu akan selamanya miskin. 

Memang enak sekali jadi komentator. Kalau Sumi mahir berbahasa Jawa, bahasa ibunyi, mungkin dia bilang begini: ”Gak usah kakean cangkem! (Jangan banyak bicara! Red)”.  (Salman Muhiddin)

 

Papa Mama Tak Membaptis Kami yang Terlahir Muslim. BACA BESOK!

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: