Yudo atau Dudung

Yudo atau Dudung

-Ilustrasi: Reza Alfian Maulana-Harian Disway-

KALAU mengacu usia pensiun perwira TNI, 58 tahun, kurang dari dua bulan kita akan memiliki panglima TNI yang baru. 

Jenderal Andika Perkasa, panglima TNI, memasuki pensiun 21 Desember 2022. Bila berjalan normal, dalam beberapa minggu ke depan, sudah akan muncul calon penggantinya. Biasanya, satu bulan sebelum pelantikan sudah ada nama calonnya. Karena butuh persetujuan DPR. Para wakil rakyat punya waktu 20 hari untuk melakukan fit and proper test

Tapi, mungkinkah masa dinas Jenderal Andika diperpanjang? Adakah pintunya? 

Kalau mengacu ke UU No 34 Tahun 2004 yang mengatur TNI, tidak ada pasal yang mengatur langsung  perpanjangan jabatan panglima. Pada pasal 13 hanya menyebutkan panglima TNI diangkat dan diberhentikan presiden setelah mendapat persetujuan DPR. Sementara itu, pasal 53 menyebutkan usia pensiun perwira 58 tahun. Tak ada pasal atau ayat yang mengatur perpanjangan usia pensiun. 

Satu-satunya pintu memperpanjang jabatan panglima iala mengamandemen UU 34/2004 itu atau mengeluarkan perppu. Untuk perppu, apakah saat ini situasi mendesak. 

Bukankah masa jabatan Jenderal Endriartono Sutarto diperpanjang di era transisi dari Megawati ke SBY? Saat itu masih bersandar dengan UU 2/1988. Pasal 32 ayat 4 memberikan peluang kepada kolonel hingga jenderal untuk diperpanjang masa jabatannya hingga 60 tahun.

Kembali ke pergantian Jenderal Andika, bila tak ada perppu, hampir dipastikan ada suksesi panglima. Saat ini pun sudah muncul berita menjagokan calon tertentu. 

Kandidatnya ialah para perwira tinggi yang menjabat kepala staf angkatan saat ini (KSAD, KSAL, dan KSAU). Sebab, aturannya hanya memberikan pintu kepada mereka.

KSAD Jenderal Dudung Abdurachman, KSAL Laksamana Yudo Margono, dan KSAU Marsekal Fajar Prasetyo mempunyai peluang yang sama. Ini hak prerogatif presiden untuk menentukan satu calon yang diajukan ke DPR. Bila parlemen menolak, presiden mengajukan nama lain. Calonnya tetap di antara kepala staf itu.

Pasal 13 (ayat 4) UU 34/2004 menyebutkan, ”Jabatan Panglima dapat dijabat secara bergantian oleh perwira tinggi aktif dari tiap-tiap Angkatan yang sedang atau pernah menjabat Kepala Staf Angkatan.” 

Kendati UU menyebut dapat dijabat secara bergantian, selama ini ditafsirkan, presiden tidak harus (wajib) menunjuk secara bergilir. Karena frasa kalimat UU itu (dapat dijabat bergantian). Lain halnya bila ”harus dijabat bergantian”.

Contohnya, pergantian panglima ke-19 dan ke-20. Panglima ke-19 Jenderal Moeldoko menggantikan Laksamana Agus Soehartono. Kalau mau bergiliran, seharusnya panglima ke-20 berasal dari TNI-AU. Namun, yang diangkat pengganti Moeldoko berasal dari TNI-AD lagi, yakni Jenderal TNI Gatot Nurmantyo.

Setelah Gatot, barulah TNI-AU Marsekal Hadi Tjahjanto. 

Saat pergantian Hadi tahun lalu, opini pun sempat terbelah. Muncul suara agar dari TNI-AL. Bergiliran. Itulah sebabnya, di publik nama Laksamana Yudo Margono menguat. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: