Review House of the Dragon: Perfect, Andai Saja Pace Lebih Rapi

Review House of the Dragon: Perfect, Andai Saja Pace Lebih Rapi

MOMENTUM PENTING ketika Rhaenyra Targaryen (Milly Alcock) dinobatkan sebagai pewaris takhta mengawali cerita House of the Dragon. -Ollie Upton-HBO-

SAYA mencintai House of the Dragon dengan sepenuh hati. Saya tertawan habis-habisan oleh show yang dibintangi Matt Smith dan Emma D’Arcy itu. Dalam sepekan, tidak ada hari lain yang saya nantikan. Selain Jumat (jadwal libur mingguan) dan Senin. Saat House of the Dragon tayang pukul 8 pagi.

Serial ini langsung membuat fans jatuh cinta sejak episode perdana. Tidak seperti Game of Thrones yang berkutat dengan kebimbangan Ned Stark soal perintah menjadi Tangan Kanan Raja, episode pertama House of the Dragon langsung mengerucut pada bibit konflik. Yang berujung pada perang saudara Targaryen.  

Baca Juga: SPOILER: Ending House of the Dragon yang Menyesakkan buat Pendukung Kubu Hitam

Bibit konflik itu adalah perseteruan antara dua calon pewaris takhta: Daemon Targaryen (Matt Smith), adik lelaki Raja Viserys Targaryen (Paddy Considine), dan Rhaenyra Targaryen muda (Milly Alcock), putri raja satu-satunya.

Para pembaca buku Fire and Blood—yang jadi sumber cerita House of the Dragon—tentu paham. Bahwa masalahnya tidak sesimpel itu. Perang saudara Targaryen, yang disebut sebagai Dance of the Dragon alias Tarian Para Naga, bukan antara Rhaenyra dan Daemon.

Dari titik ketika Rhaenyra ditetapkan sebagai pewaris takhta, untuk menuju ke Dance of the Dragon, masih jauh banget. Hampir 20 tahun. Begitu banyak yang terjadi dalam kurun waktu tersebut—kematian tokoh A, pernikahan tokoh B dan C, kelahiran tokoh D, pengkhianatan kelompok E, hingga pindah kubu dari X ke Z. Kompleks.


PENOBATAN Aegon Targaryen (Tom Glynn-Carney) pada episode delapan lah yang memancing perang saudara. Selama rentang waktu itu, House of the Dragon mengalami tiga kali time jump. -Ollie Upton-HBO-

Ryan Condal dan Miguel Sapochnik, duet showrunner serial House of the Dragon, begitu bernafsu menceritakan semuanya. Sehingga untuk mengikuti perkembangan cerita, mereka memilih teknik time jump. Alias lompatan waktu. Hingga episode kedelapan saja, sudah tiga kali kita disuguhi time jump yang efeknya krusial.

Dari episode kedua menuju ketiga, jaraknya tiga tahun. Dalam kurun waktu itu, Daemon berubah dari pangeran kejam, menjadi pahlawan perang yang merebut Kepulauan Stepstones. Dari episode kelima menuju keenam, time jump-nya lebih parah. Sepuluh tahun. Kita melihat Rhaenyra (kini diperankan Emma D’Arcy) sudah punya tiga anak dengan pengawalnya, Harwin Strong.

Dari episode ketujuh menuju delapan, ada time jump lagi. Enam tahun. Rhaenyra sudah punya dua anak lelaki dengan Daemon. Sedangkan anak-anak Alicent Hightower (Olivia Cooke) sudah dewasa. Bahkan Aegon, yang sulung, sudah menikahi adiknya, Helaena.

Sampai di sini, kesannya penulis hanya mencomot kejadian-kejadian penting selama 20 tahun. Yang berujung pada Dance of the Dragon. Tanpa benar-benar membangun character arc setiap tokoh.

Adegan Tanpa Dasar

Apa efek time jump? Simpel. Banyak kejadian yang seolah enggak nyambung. Misalnya saja, tiba-tiba Daemon berkejaran dengan Laena Velaryon naik naga di angkasa Pentos. Bukan saja sudah menikah, mereka bahkan sudah dikaruniai dua putri yang cantik-cantik. Keluarganya bahagia, pula!

Kapan Daemon berubah jadi family man? Bukankah satu episode sebelumnya ia masih berstatus sebagai suami kejam yang menghantam kepala istrinya, Lady Rhea Royce, sampai mati?


PERNIKAHAN Daemon Targarten (Matt Smith) dengan Laena Velaryon (Nanna Blondell) terasa mengejutkan gara-gara time jump 10 tahun. -Ollie Upton-HBO-

Pada episode delapan, tiba-tiba saja kita dikenalkan dengan dua anggota Pengawal Raja. Ser Erryk (Elliott Tittensor) dan Arryk Cargyl (Luke Tittensor). Kita hanya tahu mereka kembar gara-gara Alicent salah memanggil. Siapa mereka? Padahal, keduanya memegang peranan penting dalam perang saudara.  

Oke lah kalau hal-hal kecil itu tidak cukup mengganggu. Yang lebih parah dari lompatan waktu adalah, kita tidak benar-benar mendapatkan gambaran yang utuh dari tiap karakter. Apa yang mendasari mereka memutuskan sesuatu? Apa yang membuat mereka melakukan sesuatu?

Kita tidak mengerti kenapa Rhaenyra mati-matian menghindari perang. Kita bahkan tidak benar-benar memahami mengapa Daemon mencekik Rhaenyra pada episode terakhir House of the Dragon. Apakah itu hanya karena Daemon dasarnya memang monster? Atau ada perubahan pendirian Rhaenyra yang sangat mengganggu Daemon. Sehingga ia merasa istrinya pantas diancam?

Pace Game of Thrones

Mari kita bandingkan dengan Game of Thrones. Di tangan David Benioff dan D.B Weiss, serial ini memiliki pace yang relatif lambat. Konfliknya dibangun perlahan. Betul, setiap musimnya memiliki klimaks. Mulai dari Baelor, Pertempuran Blackwater, Red Wedding, Pertempuran di Hardhome, hingga Battle of the Bastards yang luar biasa dahsyat itu. Namun, itu semua hanya bagian dari perjalanan yang sangat panjang dan lama. Dan semuanya berjalan secara natural.

Kita mendukung Daenerys Targaryen (Emilia Clarke) menjadi raja Seven Kingdoms bukan semata karena dia pewaris takhta yang sah. Melainkan karena perjuangan dia selama di pengasingan.

Dia berjuang dari bawah. Mulai dari menjadi istri penguasa kaum barbar, bernegosiasi dengan para bangsawan di Essos, hingga berhasil mengumpulkan pasukan Unsullied. Dia mendapatkan gelar Breaker of Chain (pemutus rantai), setelah menghapus perbudakan di kota-kota merdeka. Dia benar-benar membangun kekuatan sendiri.

Dan kalau kita bosan menonton kisah Daenerys di Essos, Game of Thrones menservis kita dengan konflik yang memanas di Westeros. Kematian Joffrey Baratheon, bangkitnya klan Tyrell, kematian Tywin, hingga blunder Cersei bergandengan tangan dengan High Sparrow. Belum lagi, di utara, Jon Snow harus head to head dengan White Walker.


TANPA petunjuk apa pun tentang percintaan Rhaenyra dewasa (Emma D’Arcy, kiri) dengan Harwin Strong, di episode enam kita sudah melihatnya memiliki tiga anak. -Ollie Upton-HBO-

Well, kalau harus ada yang disalahkan dari pace House of the Dragon, mungkin itu adalah Fire and Blood. Sebagaimana diberitakan, buku itu bukanlah novel. Itu adalah buku sejarah, yang—seolah-olah—ditulis oleh Archmaester Gyldayn. Jadi, alih-alih mengeksplorasi karakter seorang tokoh, buku itu lebih banyak berisi versi sejarah yang berbeda-beda.

Jadi, bagaimana penulis House of the Dragon bisa mengeksplorasi sebuah karakter. Lha wong sumbernya saja tidak ada!

Namun, justru di situlah seharusnya keuntungan Condal dan Sapochnik sebagai juru cerita. Karena Fire and Blood hanya berisi peristiwa-peristiwa, semestinya mereka bisa mengembangkan character arc sendiri. Agar tiap tokoh memiliki kedalaman yang mampu menjelaskan setiap aksi dan tindakannya. Tidak ujuk-ujuk rabi dan ujuk-ujuk duwe anak telu.

Kalau saja pace-nya lebih rapi, saya yakin House of the Dragon akan jauh lebih dahsyat daripada Game of Thrones. (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: