Catatan Perjalanan ke Tiongkok saat Pandemi (2): QR Code Penentu
NOVI BASUKI (kanan) bersama rombongan dari Indonesia saat mendarat di Tiongkok.-Novi Basuki-
Hampir bisa dipastikan, orang Indonesia yang menggunakan WeChat adalah yang punya koneksi dengan orang Tiongkok. Sebaliknya, orang Tiongkok yang menggunakan WhatsApp adalah yang punya relasi dengan orang-orang di luar negeri.
Pak Amal Ghozali buru-buru mengaktifkan kembali WeChat-nya yang sudah lama mati. Pak Yusuf Ramli, bos perusahaan perikanan Komira Group yang bermarkas di Muara Baru, aman terkendali. WeChat-nya masih berfungsi.
Yang repot Pak Kasnadi dan Pak Rois, dua kapten kapal kakak beradik dalam rombongan kami. Mereka belum punya WeChat. Harus bikin akun dulu –yang proses pendaftarannya bagi warga negara +62 akan membuat frekuensi nama-nama binatang lebih intens keluar dari mulut.
Kami jadi makin dibuat harap-harap cemas oleh jawaban menggantung petugas. Kabayang tiket yang akan hangus, yang harganya berpuluh kali lipat dibanding biasanya. Terutama lagi: kebayang meeting-meeting penentu masa depan perikanan tangkap yang akan menguap.
Padahal, tujuan kami nekat ke Tiongkok adalah untuk itu: mencari cara agar ikan-ikan bisa kita makan dengan harga yang lebih bersahabat dengan apa yang Pak Amal sebut sebagai ”cah tipis” dalam banyak cuitannya.
Kalau sampai satu di antara kami positif dan kami tidak bisa berangkat semua, sudah barang tentu Pak Amal dan Pak Yusuf yang jadi komandan perjuangan ke utara itu tak akan memberikan pengampunan dosa kepada seluruh petugas PCR tadi. Kalau perlu, mereka berdua mungkin akan menerapkan ”连坐 (lián zuò)”, hukuman Tiongkok klasik yang akan menghukum siapa pun yang dianggap punya kaitan dengan pelaku.
Tak mau terlalu banyak berspekulasi, kami putuskan cari kopi. Sambil menunggu jam makan siang, ngobrol sana sini.
Sementara di grup WeChat, yang tanya cara mengurus QR code kesehatan (健康码, jiàn kāng mǎ) ramai sekali.
QR code kesehatan menjadi semacam semikonduktor yang akan mengantarkan orang-orang masuk ke Tiongkok. Mustahil bisa masuk ke Tiongkok tanpa menunjukkan itu di gawai masing-masing. Dan hanya yang QR code kesehatannya berwarna hijau yang bisa ke Tiongkok. Hijau berarti telah lolos verifikasi kesehatan yang dilakukan manual oleh tim dari Kedubes Tiongkok di Jakarta.
Lewat link pendaftaran QR code kesehatan yang di-share petugas, mereka yang hendak ke Tiongkok diminta mengisi beragam data. Di antaranya, yang paling krusial, adalah hasil tes PCR pertama dan kedua.
Hanya, karena hasil tes PCR kedua baru keluar tengah malam, hasil tes PCR pertama yang diminta di-upload duluan. Sebab, tim dari Kedubes Tiongkok harus segera melakukan verifikasi. Takut tidak keburu.
”QR code kesehatan akan terus di-update oleh kedubes. Kalau ternyata ada yang hari ini positif hasil tesnya, besok sebelum berangkat QR code kesehatannya akan langsung berubah merah,” tulis seorang petugas di grup WeChat.
Grup WeChat langsung riuh. Makin malam makin ramai. Semua gelisah menunggu apa warna QR code kesehatannya. Seperti bingungnya orang-orang yang menanti penghitungan amal di Padang Mahsyar yang digambarkan komik Siksa Neraka.
Apalagi, mendadak ada dua-tiga orang yang QR code kesehatannya sudah keluar dan memamerkan warna hijaunya di grup. Padahal, yang lain, termasuk kami, tetap berwarna kuning –pertanda belum ada kepastian nasib. Kalau tidak berubah jadi hijau sampai waktu check-in berakhir, alamat tidak akan bisa masuk Tiongkok. Jangankan masuk Tiongkok, check-in pesawat pun tidak akan bisa.
QR code kuning di WeChat menandakan nasib belum jelas.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: