Kunjungan 31 Jurnalis Lintas Benua di Taiwan: Bebas Nuklir 2025 (4)

Kunjungan 31 Jurnalis Lintas Benua di Taiwan: Bebas Nuklir 2025 (4)

KINCIR ANGIN penghasil listrik di Miaoli County jadi pilihan Taiwan ketimbang energi nuklir.-Salman Muhiddin/Harian Disway-

Taiwan ingin ikut dalam mewujudkan misi besar dunia: Net Zero Emission 2050. Secara bertahap mereka meninggalkan penggunaan bahan bakar fosil. Jalan pintasnya adalah energi nuklir. Namun, berbagai pejabat kementerian yang kami temui menegaskan hal itu tak mungkin terjadi.


--

JURNALIS senior Huffpost asal Amerika Serikat (AS) Alexander Kauffman menyelipkan banyak pertanyaan soal energi nuklir ke berbagai pejabat Taiwan yang kami temui. Ia banyak menulis artikel terkait perubahan iklim dan kebangkitan tenaga nuklir.

Alex menanyakan hal itu ke Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Luar Negeri, hingga Kementerian Ekonomi. Juga, ke berbagai pejabat lain. Tak ada jurnalis lain yang tanya itu.

Ia tentu sudah tahu bahwa Taiwan sudah punya nuklir. Namun, Presiden Taiwan Tsai Ing-wen sudah memutuskan untuk membuat negaranya bebas nuklir pada 2025.

Setidaknya mereka punya tiga pembangkit listrik tenaga nuklir. Satu di Kabupaten Pingtung dan dua di New Taipei City.

Yang di Pingtung sudah mengajukan penutupan sejak Juli. Sedangkan yang di New Taipei City masih memiliki izin operasional hingga 27 Juli 2024 dan 17 Mei 2025.

PLTN Pingtung adalah satu-satunya pembangkit nuklir di Taiwan Selatan. Kubahnya terlihat menjulang dari pantai di kawasan Kenting.


FOTO UDARA Taiwan di pulau utama Formosa. Keterbatasan lahan membuat Taiwan memutuskan untuk menghentikan pengembangan energi nuklirnya pada 2025.-Salman Muhiddin/Harian Disway-

Semua pembangkit listrik tenaga nuklir negara itu dioperasikan utilitas negara Taiwan Power Corporation (Taipower).

Menurut Alex, energi nuklir bisa menjadi jalan tercepat untuk mencapai target nol emisi 2050. ”Bagaimana kebijakan nuklir di Taiwan?” tanya Alex.

Menteri Lingkungan Hidup Taiwan Tzi-Chin Chang yang kami temui Senin, 14 November 2022, menegaskan bahwa keputusan sudah diambil. Taiwan bakal meninggalkan energi nuklir. ”Kami sudah menyusun strategi lain,” katanya.

Energi nuklir sejatinya sangat ramah lingkungan. Masa waktu operasinya bisa mencapai 80 tahun. Emisi karbonnya sangat rendah. Lahan yang digunakan juga tak banyak.

Indonesia juga mengupayakan PLTN itu. SDM disiapkan sejak 1990-an. Indonesia juga sudah punya tiga reaktor nuklir di Serpong, Bandung, dan Yogyakarta. Namun, skalanya baru reaktor riset.

Namun, masalah terbesar yang dihadapi Indonesia bukan pada SDM dan infrastruktur. Melainkan, urusan sosial dan politik.

Rupanya yang dihadapi Taiwan sama. Masyarakat khawatir pembangkit nuklir bisa jadi simalakama. Mereka tinggal di satu pulau yang relatif kecil. Jika dikepung Tiongkok, akan sangat membahayakan. Parlemen dan pemerintahan mengamini ketakutan itu.

Tiga bulan lalu Tiongkok mengepung Taiwan gara-gara kunjungan Ketua DPR AS Nancy Pelosi. Mereka menggelar latihan besar-besaran di sekeliling Pulau Formosa, pulau utama Taiwan.

Tidak ada yang terluka sama sekali di latihan skala besar itu. Namun, reaksi Tiongkok tersebut sudah membuat Taiwan kalang kabut. Kapal-kapal perdagangan tak bisa keluar masuk. Pulau jadi terisolasi.

Bagaimana kalau ada roket yang nyasar ke pembangkit nuklir itu. Radiasinya bisa membahayakan 23,57 juta penduduk Taiwan. Termasuk 300 ribu mahasiswa dan pekerja migran Indonesia (PMI) di sana.

Kalau Taiwan punya senjata nuklir pula, perang di Pasifik bisa sangat mengerikan.

Sebenarnya tanpa diserang, kepemilikan energi nuklir sudah membahayakan. Kalau ada kebocoran, radiasinya sangat berbahaya. ”Kami tak punya cukup lahan untuk persoalan limbah nuklir atau limbah radioaktif,” ujar Tzi Chin.

Karena itulah, PLTN lebih cocok di negara dengan wilayah yang sangat luas. Seperti AS, Tiongkok, dan Rusia. Pembangkit bisa diletakkan jauh dari permukiman. Kalau terjadi apa-apa, relatif lebih aman.

Saya juga menanyakan soal nuklir itu ke salah seorang tokoh paling berpengaruh di Taiwan: Miin Wu.


BOS SEMIKONDUKTOR Miin Wu, pemilik Macronix menerangkan kesuksesannya mengawali perusahaan chip pertama di Taiwan.-Salman Muhiddin/Harian Disway-

Wu adalah produsen semikonduktor atau chip pertama Taiwan dengan perusahaan Macronix. Anda sudah tahu bahwa Taiwan adalah produsen utama semikonduktor dunia. Chip itu dibutuhkan di berbagai peranti elektronik di komputer, smartphone, mobil, televisi, dan berbagai alat elektronik lainnya.

Semikonduktor itulah yang menjadi tameng besar Taiwan. Bahkan 90 persen chip berteknologi advance berukuran 5 nano milimeter (nm) dikuasai negara berjuluk Formosa itu. Belum ada yang bisa menyaingi dominasi Taiwan.

Wu yang meniti ilmu dan karier di AS itu sebenarnya sangat pro-energi nuklir. Ia mengatakan pendapatnya itu secara terang-terangan kepada 31 jurnalis lintas benua di kantornya. ”Tetapi, negara tidak menghendakinya,” ujar Wu.

Setelah berpidato dan mengajak kami keliling ke galerinya, saya mendekati Wu. Saya tanya lebih detail soal pendapatnya tentang nuklir. ”Tentu kami sebenarnya sangat membutuhkan itu, tapi siapalah saya. Bukan politikus dan pejabat,” ujarnya.

Ia menegaskan, dirinya akan tetap mengabdi sebagai pengusaha. Tetap di luar pemerintah. Namun, tetap saja ia mengharapkan Taiwan mengembangkan energi nuklirnya.

”Anda bisa jadi presiden untuk mewujudkan itu,” ujar saya.

Hahahahaha,” Wu terkekeh dan tak mengatakan kalimat apa pun. (Salman Muhiddin)

 

Negara Bisa Kacau bila Taiwan Diserang. BACA BESOK!

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: