Hantu Demokrasi atau Pemulihan Ekonomi

Hantu Demokrasi   atau Pemulihan Ekonomi

-Ilustrasi: Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

Era jabatan dua periode untuk presiden yang tercantum dalam konstitusi itu adalah produk reformasi. Keinginan di jalur demokrasi setelah presiden tanpa batas yang memunculkan otoriter.

Sejatinya, di balik isu pengunduran pemilu, ada dua isu besar. Pertama, isu pembangunan ibu kota negara (IKN) di Kaltim. Kedua, peta calon presiden.

IKN, gagasan besar Presiden Jokowi, dalam dilema. Semangat awal tidak menggunakan APBN. Kenyataan saat ini,  sudah bergeser ke penggunaan APBN hingga 20 persen dari pembiayaan yang hampir Rp 500 triliun itu.

Para calon investor seperti SoftBank juga mundur. Apakah dengan sisa waktu kurang dari dua tahun ini, pemerintah sekarang bisa merampungkan pembangunan infrastruktur? Atau pembangunan fasilitas gedung pemerintah disertai dengan tempat tinggal layak bagi keluarga pejabat dan para aparatur negara?

Andaikan skenario penambahan durasi rezim saat ini selama dua atau tiga tahun (baca penundaan pemilu) dilakukan, tentu pemerintah sekarang mempunyai kesempatan lebih longgar menyelesaikan infrastruktur IKN. Di sanalah terlihat korelasi antara isu pengunduran pemilu dan megaproyek itu.

Perekonomian semua negara terpukul gara-gara Covid. Namun, tidak terdengar usulan penundaan agenda pemilu dengan alasan mengganti ”waktu hilang” akibat pandemi itu. Misalnya, Prancis yang tetap menggelar pilpres pada April 2022. Dengan susah payah petahana Emmanuel Macron menang.

Di Malaysia, baru-baru ini juga ganti PM. Kini dijabat Anwar Ibrahim. Suksesi di Malaysia itu melalui krisis politik karena sulitnya pembentukan koalisi pemerintah. Tapi, juga tidak ada upaya pemerintah petahana memperpanjang masa jabatan dengan alasan ”hilangnya” waktu karena Covid.

Isu kedua, yang terkait peta capres. Langkah politik Partai Nasdem yang mencalonkan Anies Baswedan memunculkan kandidat kuat di luar istana. 

Safari Anies ke berbagai daerah disambut publik. Berbagai survei juga menunjukkan tren naik. Dari beberapa survei, daerah yang dulu jadi lumbung suara capres Prabowo Subianto kini pindah ke Anies.

Peta politik pun makin jelas, Anies dengan slogan ”perubahan” dianggap publik bukan sebagai kelanjutan Jokowi. Sementara itu, Ganjar Pranowo, dalam persepsi publik, adalah kelanjutan Jokowi. Keduanya kini menjadi terdepan sebagai kandidat kuat. 

Bila tren Anies menguat, tentu kubu lain akan mempunyai kepentingan untuk menunda pemilu. 

Di mana posisi Jokowi? Bukankah sikap presiden sebagai faktor yang sangat menentukan? Selama ini Jokowi menegaskan taat dengan konstitusi, artinya cukup dua periode. Bahkan, ia  pernah menyebut pengusul tiga periode seperti menampar mukanya. Ia pun sepakat proses pemilu akan tetap berjalan sesuai dengan tahapan yang telah disepakati pemerintah, DPR, dan KPU.

Tapi, di sisi lain, Jokowi tidak mempermasalahkan usulan tiga periode atau penundaan. Alasannya, itu juga bagian dari demokrasi. Itulah yang menyebabkan, belum pernah terdengar menteri atau pimpinan parpol koalisi yang ditegur gara-gara kampanye tiga periode atau penundaan pemilu.

Karena itu, bisa jadi, agenda penundaan pemilu atau tiga periode adalah gerakan  para elite parpol atau pejabat di lingkaran presiden. Mereka akan lebih nyaman dengan situasi saat ini daripada pergantian rezim.

Tahun 2023 pun, tensi politik akan terus naik. Dan, isu pengunduran pemilu dan presiden tiga periode bakal terus muncul. (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: